Page 103 - Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia
P. 103
Mochammad Tauchid
hadap kewajibannya kepada onderneming dapat dituntut di
pengadilan. Karena itu, untuk tanaman tebu dan tembakau
memerlukan tenaga yang banyak, kerja paksa dijalankan
dengan keras. Sebagian dengan bayaran, lainnya dengan
percuma. Kata Belanda, rakyat di bawah kekuasaan onderne-
ming sudah “lebih ringan” daripada waktu di bawah kekuasaan
bekel dan patih yang sewenang-wenang. Rakyat yang dulu
ditindas dan diperas oleh Patih dan Bekel dengan bertopeng
nama raja, dengan kewajiban herendienst, bakti dan seribu
macam beban yang berat, ganti dengan kewajiban kerja paksa
di onderneming tebu dan tembakau. Dahulu, para Bekel dan
Patih bermain kuasa atas nama kebesaran raja, sedang seka-
rang untuk modal raksasa. Dari mulut harimau rakyat jatuh
ke mulut buaya. Cara perbudakan semacam ini kemudian
dirasakan sebagai hal yang tidak dapat dibenarkan lagi oleh
zaman yang sopan ini, maka timbullah kehendak untuk mengu-
bahnya.
Pada tahun 1916-1918 apanageschap dihapuskan yang
sudah sejah tahun 1912 dimulai. Tanah diambil dan dinyatakan
sebagai milik kerajaan yang tadinya milik raja. Domeinver-
klaring dinyatakan dengan Rijksblad 1918 no. 16 bahwa sejak
itu tanah adalah milik kerajaan. Kepada Kelurahan (bekas
kebekelan) diberikan hak tanah (beschikkingsrecht). Kepada
rakyat diberikan hak memakai turun temurun (erfelijk geb-
rukisrecht, wewenang nggaduh turun temurun). Hak memakai
yang dulu dapat dicabut oleh bekel, kalau sudah tidak kuat
lagi untuk bekerja di onderneming, sekarang dapat diturunkan
kepada ahli warisnya.
Pemberian hak tanah semacam ini kepada rakyat disertai
kewajiban membayar “landrente” (pajak bumi). Untuk daerah
82