Page 109 - Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia
P. 109
Mochammad Tauchid
tembakau, tanah untuk onderneming 59.985 ha dengan
sistem glebagan, artinya menguasai tanah dua kali lipat
dari luas itu. Daerah Yogyakarta yang kecil dengan pendu-
duknya yang sangat padat sebelum krisis tahun 1930 berdiri
di sana 33 perusahaan gula dan memakai tanah untuk tebu
saja (kecuali untuk tembakau dll) 22.819 bau dengan gle-
bagan stelsel, artinya mereka menguasai tanah dua kali le-
bih luas, dan 513 bau dengan pemakaian tetap (voortdurend
gebruik) untuk keperluan bangunan, perumahan, dan
tanah-tanah untuk keperluan pabrik. Karena, tanah garapan
rakyat sangat kecil.
Di daerah Yogyakarta, seorang keluarga tani rata-rata
hanya mempunyai tanah ¼ atau / ha. Di daerah Klaten, di
1
3
bagian tanah yang sangat subur, tanah garapan rakyat hanya
rata-rata / bau, atau kurang dari ¼ ha. Di bagian yang tidak
1
3
subur agak luas sedikit.
Riwayat konversi yang menyedihkan itu berlaku sampai
tahun 1948, pada waktu pabrik-pabrik gula di daerah Yogya-
karta dan Surakarta sudah “dikuasai” oleh Republik Indonesia.
Pada bulan September 1946, salah seorang anggota Badan
Pekerja DPR Daerah Yogyakarta, yaitu Moch. Tauchid (wakil
Barisan Tani Indonesia), pernah mengajukan usul untuk meng-
hapuskan konversi itu, disertai dengan usul agar penanaman
tebu selanjutnya dikerjakan oleh rakyat dengan cara “opkoop
riet”. Selanjutnya dikerjakan dengan berkooperasi, yang pada
waktu itu sudah dibentuk Koperasi-koperasi Rakyat Kelurahan
di daerah itu. Tetapi usul bagus ini ditolak oleh Wakil Golongan
Buruh (BBI–Barisan Buruh Indonesia dan PBI–Partai Buruh
Indonesia) yang mengkhawatirkan akibatnya akan merugikan
buruh.
88