Page 143 - Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia
P. 143
Mochammad Tauchid
kelamaan setelah mendapat tenaga kuli-kuli yang baik dengan
latihan kekerasan, kuli yang taat, rajin bekerja, dan tidak suka
lari, maka kekerasan itupun dihentikan. Kalau dulu poenale
sanctie diadakan untuk menjamin para kuli tetap dan terikat,
setelah malaise karena berlebih-lebihan orang mencari peker-
jaan dan malah minta diikat katanya, maka cara kontrak diang-
gap sudah tidak perlu lagi. Toh sudah berlebih-lebihan menda-
patkan kuli. Kemelaratan dan kelaparan rakyat terutama di
Jawa, menguntungkan onderneming. Sebab itu banyak pena-
waran tenaga yang minta pekerjaan. Kuli-kuli itu dikatakan
mendapat upah yang cukup untuk hidup yang layak. Banyak
di antara mereka yang mempunyai sepeda, mesin jahit, ba-
rang-barang mewah (lux), dan suka menabung; satu hal yang
luar biasa bagi orang Jawa katanya. Tidak seperti halnya
dengan kuli-kuli orang Tionghoa yang sudah biasa menabung.
Mereka selalu mengirim uang kepada keluarganya di Jawa.
Satu tanda bahwa di sana merupakan masyarakat buruh yang
teratur dan sehat. Kaum modal menepuk dada dan mengata-
kan: “Siapa bilang kehidupan di onderneming jelek? Lihatlah,
75% dari jumlah kuli-kuli yang dikembalikan ke Jawa karena
habis kontraknya, pulang kembali ke onderneming! Bukankah
itu tandanya bahwa penghidupan di onderneming baik?”
Memang, tuan-tuan boleh menepuk dada karena sudah
berjasa membuat dunia ini menjadi kandang orang miskin yang
bersedia digiring ke onderneming untuk turut memeras ke-
ringat bagi kekayaan Tuan-tuan. Tuan-tuan boleh menepuk
dada dan bangga di hadapan lautan manusia yang berjongkok
minta pekerjaan dan bersedia menerima upah sekadar untuk
penyambung nyawa dan mendapat sesuap nasi sambil mene-
rima upah cambuk dan palu.
122