Page 72 - Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia
P. 72
Masalah Agraria di Indonesia
Dengan kembalinya kekuasaan Belanda dari tangan Ing-
gris, terutama tanah-tanah di Jawa lazimnya disewakan. Teta-
pi pada zaman Cultuurstelsel (V.D. Bosch) persewaan tanah
dihentikan dengan memakai cara baru dalam mendapatkan
uang dan keuntungan. Sejak tahun 1854 (Regeerings Regle-
ment pasal 62 ayat 3 dan firman Raja tahun 1856 no. 64) dite-
tapkan adanya peraturan sewa tanah untuk perkebunan. Teta-
pi dengan peraturan sewa yang lamanya 20 tahun itu dianggap
terlalu pendek untuk perkembangan modal yang begitu besar.
Lebih-lebih karena persewaan itu tidak disertai dengan hak
benda (zakelijke recht). Hal itu dianggap tidak dapat menjamin
perkembangan modal, karena tidak dapat dipakai tanggungan
untuk mendapat pinjaman dari Bank. Dengan memberikan hak
benda kepada hak erfpacht dimaksudkan menjamin kaum
modal dengan mendapat jaminan tanah cukup dengan hak
yang kuat pula, maka dapat dipakai untuk memperbesar modal
perusahaannya. Si pemegang hak itu berkuasa penuh untuk
memperlakukan tanah sebagai miliknya sendiri, hanya tidak
diperbolehkan berbuat yang mengakibatkan kerusakan tanah
yang berakibat merosotnya harga tanah.
Dengan hak ini, terutama untuk menarik kapital asing yang
sebesar-besarnya dengan jaminan sebaik-baiknya. Tanah
Jawa menjadi tempat strategis bagi penanam modal besar par-
tikelir, sebab di sini masih tersedia beberapa hutan belukar
(woeste gronden), tanah yang subur, persediaan tenaga manu-
sia yang cukup, dan sangat murah.
Untuk mendapatkan hak erfpacht ini, pertama-tama di-
adakan penawaran umum (lelangan) kepada siapa yang ingin
mempunyai hak itu. Tetapi kemudian hanya diberikan kepada
siapa yang memerlukan dengan cara mengajukan permintaan
51