Page 187 - Hak Atas Tanah bagi Orang Asing
P. 187

164   FX. Sumarja


                Berbeda dengan Maria SW. Sumardjono, Herman Soesangobeng
            berpendapat bahwa  pembuatan PPJB  adalah kejahatan hukum.
            Seringkali  PPJB  merupakan  perbuatan hukum  yang mengandung
            cacat tersembunyi.  Dikatakan mengandung  cacat  tersembunyi,
                             39
            karena  perbuatan  itu dilakukan oleh  pemilik  tanah  yang  tidak
            sebenarnya.  Artinya  perbuatan  hukum  itu dilakukan oleh orang
            yang secara hukum belum diakui sebagai pemegang hak atas tanah,
            sehingga perbuatan itu termasuk perbuatan pidana. Pada dasarnya
            dalam hukum tanah nasional jual beli tanah harus dilakukan oleh

            dan  di  antara  para  pemegang  hak  sebenarnya.  Oleh  karenanya,
            pembuatan PPJB merupakan perbuatan pidana yang tentunya harus
            ada sanksi pidana, baik bagi pejabat yang membuat PPJB maupun
            terhadap akta PPJB-nya itu sendiri. Sanksi bagi pejabat bisa berupa
            denda dan/atau kurungan, sedangkan untuk aktanya, dikenai sanksi
            batal dengan sendirinya (nietig eo ipso). Selain itu, harusnya sanksi
            tidak  sebatas dikenakan  kepada  pejabat dan aktanya,  tetapi  juga

            kepada pihak-pihak yang melakukan perjanjian PPJB, baik pembeli
            kalau ia berkedudukan sebagai strooman/ nominee/kedok maupun
            penjualnya, karena bukan pemegang hak atas tanah yang sebenarnya.
                Tujuan adanya larangan penggunaan PPJB dan pengaturan sanksi
            ini adalah untuk mencegah terjadinya jual beli tanah oleh “makelar”
            atau “spekulan”  tanah. Makelar mendapatkan keuntungan  sangat




                kepala adat yang bersifat nyata/riil, artinya  objek jual beli harus sudah
                ada ujudnya  dan penjual  adalah  benar-benar  sebagai pemiliknya.
                Kontan/tunai berarti pada saat pembeli membayar harga tanah kepada
                penjual, maka pada saat itu hak atas tanah telah beralih dari penjual
                kepada  pembeli.  Terang  diartikan bahwa jual beli  tersebut harus
                dilakukan di  hadapan  kepala adat, dalam  konteks  sekarang dibuat
                di hadapan PPAT.  Lihat  Soerjono Soekanto,  Hukum Adat  Indonesia,
                Jakarta: Rajawali, 1983,  hlm. 211; Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum
                Adat/Beginselen en Stelsel van Het Adatrecht, (terjemahan K. Ng. Soebakti
                Poesponoto), Jakarta: Pradnya Paramita, 1987,  hlm. 83-88.
            39  Herman Soesangobeng, Filosifi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan,
                dan Agraria,Yogyakarta: STPN Press, 2012, hlm. 323, 325, 333.
   182   183   184   185   186   187   188   189   190   191   192