Page 250 - Hak Atas Tanah bagi Orang Asing
P. 250
Hak Atas Tanah Bagi Orang Asing 227
Logemann. Masing-masing mempertahankan pendiriannya, dengan
argumentasinya masing-masing, kemudian pada tataran praktik
masing-masing mempunyai pengikutnya. Pada saat itu putusan
pengadilan terkait penegakan aturan larangan pengasingan tanah
terbelah menjadi dua.
Menurut van Hattum terhadap pelanggaran aturan larangan
pengasingan tanah, konsekuensinya perjanjian jual beli batal, tanah
kembali kepada penjual dan uang penjualan kembali kepada pembeli.
5
Hal ini sesuai dengan bunyi aturan dan sejalan dengan asas hukum
yang berlaku, bahwa suatu perbuatan dinyatakan batal demi hukum
dengan konsekuensi segala sesuatunya dikembalikan pada keadaan
semula. Dengan kata lain, keadaannya dikembalikan seperti semula
dan dianggap tidak pernah terjadi sesuatu. Pendirian van Hattum
tentu berseberangan dengan pendirian pemerintah saat itu.
Pendirian pemerintah kolonial saat itu bahwa konsekuensi
dari pelanggaran terhadap larangan pengasingan tanah adalah
tanah menjadi tanah negara bebas dan pembeli dapat menuntut
pengembalian uangnya pada penjual. Pendirian pemerintah itu
tentu sangat merugikan golongan penduduk Indonesia. Menurut
van Hattum, tanah tidak bisa menjadi tanah negara bebas seperti
yang dikemukakan Logemann dan pendirian pemerintah, karena
aturannya tidak demikian. Sementara itu, pendirian Logemann
tidak sejalan juga dengan pendirian pemerintah, menurutnya
5 Pendirian van Hattum ini bukannya tanpa alasan, mengingat pada
saat itu pemerintah berpendirian bahwa pelanggaran pengasingan
tanah berakibat perjanjian jual beli batal, tanah menjadi tanah negara
bebas karena dianggap telah terjadi penyerahan hak kepada negara,
dan pembeli dapat menuntut pengembalian uangnya kepada penjual.
Putusan Landraad Semarang tanggal 25 Mei 1919, kasus Njonja
Holz-Mani vs Pak Benak. Pendirian pemerintah kolonial seperti ini
berarti akan membikin petani Indonesia terjerumus lebih dalam lagi
kelembah kesengsaraan, bukankah maksud pembuat undang-undang
tidak demikian.(Sudargo Gautama, Hukum Agraria..., Op. Cit., hlm.
84-85).