Page 26 - Mewujudkan Indonesia Emas 2045
P. 26
disalahpahami sebagai pelepasan kawasan hutan. Dalam prosesnya,
SK peta indikatif harus ditindaklanjuti dengan memeriksa tanah
yang telah dipetakan di dalamnya untuk dilepaskan dari kawasan
hutan berdasarkan kajian Tim Terpadu. Setelah itu, tanah tersebut
dapat direkomendasikan dan dicadangkan untuk dilepaskan sebagai
objek TORA. Dalam hal ini, dapat dipahami bahwa terbitnya SK peta
indikatif merupakan tahap awal dari serangkaian proses pelepasan
kawasan hutan.
Perbedaan pemahaman tersebut disebabkan karena
Kementerian LHK tidak menyatakan secara jelas objek TORA dan
subjek penerima alokasi 20% dari kawasan hutan untuk perkebunan
dalam peta indikatif. Namun, secara umum ketidaksepahaman
tersebut bersumber dari tidak dibangunnya komunikasi yang baik
antara kedua kementerian, padahal telah diatur jelas nomenklatur
pelepasan dan tata caranya dalam Permen LHK No. 17/2018 (Salim,
dkk, 2019, 121). Akibatnya, ATR/BPN menganggap bahwa terbitnya
peta indikatif tersebut sama dengan pelepasan kawasan hutan (Salim,
dkk, 2019, 122-123). Perbedaan persepsi ini menimbulkan anggapan
bahwa Kementerian LHK belum melepaskan kawasan hutan.
Sementara itu, Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) pun tidak
dapat serta merta membiarkan tanah-tanah tersebut diambil sebagai
objek TORA tanpa melalui tahapan dan proses pelepasan sesuai
ketentuan Permen LHK No. 17/2018.
Mengkaji Akar Permasalahan dan Solusi Atas Rendahnya Capaian Redistribusi 9
Tanah Objek Reforma Agraria yang Berasal dari Pelepasan Kawasan Hutan di Indonesia