Page 30 - Tanah Bagi yang Tak Bertanah: Landreform Pada Masa Demokrasi Terpimpin 1960-1965
P. 30

TANAH BAGI YANG TAK BERTANAH

                  Laporan kolonial yang menyajikan data tentang pro-
              ses marjinalisasi kaum tani berdasarkan penyelidikan
              Meyer Ranneft mengemukakan bagaimana sistem penye-
              waan tanah berkembang. Di keresidenan Modjokerto dan
              Soeko pada tahun 1917, angka penyewaan tanah menca-
              pai 32 hingga 43 persen. Para petani yang menyewakan
              tanahnya tersebut kemudian beralih statusnya menjadi
              sekadar penggarap melalui sistem bagi hasil.
                  Gejala serupa terjadi di Cirebon, Semarang, dan Sura-
              baya. Dengan kata lain, laporan tersebut menunjukkan
              proses menguatnya segolongan kecil kaum tani yang ber-
              kembang dalam struktur ekonomi kolonial dan terlibat
              dalam aktivitas ekonomi dunia dengan penanaman
              komoditi tanaman ekspor. Di lain pihak, perkembangan
              ini diikuti pula oleh meningkatnya jumlah kaum tani tak
              bertanah di pedesaan Jawa yang memberikan bentuk
              dalam proses diferensiasi di pedesaan.
                  Belitan utang di kalangan kaum tani terlihat misalnya
              pada 1929, saat penyaluran kredit baik secara resmi mau-
              pun tidak resmi mencapai angka tertinggi f. 140.000.000
              dengan tingkat pembayaran bunga sebesar f. 35.000.000
              setahun. Sedangkan pinjaman yang diberikan oleh rumah
              gadai milik pemerintah mencapai angka f. 60.000.000. 25
              Sayang tidak ada data lengkap mengenai tingkat pinjam-
              an petani kepada lintah darat yang beroperasi di desa-
              desa melalui ijon dan gadai. Yang jelas, laporan kolonial
              menyebutkan bahwa sebagian besar petani desa banyak
              terjerat utang yang ditawarkan lintah darat.
                  Diferensiasi di pedesaan semakin tajam ketika pene-
              trasi kapitalisme semakin intensif. Kapitalisme menjadi-


              25. E. de Vries. Op.cit., hal. 83.

                                        24
   25   26   27   28   29   30   31   32   33   34   35