Page 31 - Tanah Bagi yang Tak Bertanah: Landreform Pada Masa Demokrasi Terpimpin 1960-1965
P. 31
LANDASAN KEMISKINAN DAN KETERBELAKANGAN EKONOMI
kan tanah dan tenaga kerja sebagai komoditi yang bisa
diperjualbelikan. Di samping mempermiskin mayoritas
kaum tani, perkembangan tersebut menciptakan pula
satu lapisan sosial yang menangguk untung dari berkem-
bangnya ekonomi uang. Sebagaimana terungkap dari pe-
nelitian Jan Breman tentang proses reforma agraria awal
abad ke-20 di Cirebon, meningkatnya usaha perkebunan
(khususnya industri gula) pada gilirannya mendorong
lahirnya segolongan “kapitalis-sewa” yang mengambil ke-
untungan dari kehancuran perekonomian kaum tani.
Golongan yang memetik untung dari introduksi eko-
nomi modern dalam kehidupan agraria ini terdiri dari pe-
jabat desa seperti wedana, camat, dan lurah. Mereka me-
miliki kontrol terhadap mekanisme distribusi tanah dan
hubungan erat dengan pihak perkebunan. Pelaksanaan
sistem yang dikenal dengan istilah glabagan berjalan
26
dengan menyingkirkan para petani penggarap yang
mengolah tanah-tanah desa melalui perjanjian sewa yang
seringkali dilaksanakan dengan paksa.
Dalam konteks yang lebih luas, Jan Breman menga-
takan bahwa “rakyat (petani) diseret ke dalam cara pro-
duksi kapitalis dengan cara mekanisme-mekanisme yang
27
bersifat feodal atas tanah dan tenaga kerja.” Tabel di
halaman berikut menunjukkan peningkatan jumlah pe-
milik tanah yang menguasai tanah lebih dari 30 bouw 28
(21 hektar) di Jawa memasuki abad ke-20.
26. Sistem ini merupakan perjanjian hubungan sewa tanah antara pabrik
gula dan petani penggarap di desa berdasarkan metode penanaman
tebu rotasi (bergilir) yang menggunakan lahan pertanian.
27. Jan Breman. Op.Cit., hal. 51.
28. 1 bouw = 0,7 hektar.
25

