Page 52 - Tanah Bagi yang Tak Bertanah: Landreform Pada Masa Demokrasi Terpimpin 1960-1965
P. 52
TANAH BAGI YANG TAK BERTANAH
wajarnya ada dalam masyarakat. Namun mendadak,
macetnya administrasi rutin yang sudah berjalan selama
berpuluh tahun, lenyapnya tuan-tuan kebun, kontrolir,
polisi intelejen, polisi desa, macetnya produksi dengan
seketika memberi pelajaran paling konkret bagi pendu-
duk pedesaan pada umumnya bahwa hal yang biasa ber-
jalan bisa hancur dalam sekejap.
Di tahun-tahun setelah berakhirnya pendudukan
Jepang, konsep kemerdekaan di kalangan massa rakyat
Indonesia semakin tajam. Terjadi perdebatan tentang apa
arti kemerdekaan harus diisi. Dalam minggu-minggu
sesudah proklamasi kian banyak kepala desa, polisi dan
pejabat setempat dicopot dari kedudukannya. Di Sepatan,
sisi barat laut Tangerang, seorang asisten wedana dibu-
nuh, dan ketika polisi mencoba bertindak tegas untuk
menguasai situasi, ledakan kekerasan justru meletus. 4
Dalam konteks seperti inilah gerakan petani, atau tepat-
nya sengketa agraria yang merebak di masa pasca kemer-
dekaan, berlanjut di tahun 1960-an dalam bentuk aksi-
aksi sepihak.
Persoalan ekonomi terpenting pasca Proklamasi
adalah: pertama, bagaimana mempertahankan keterse-
diaan pangan bagi penduduk; kedua, bagaimana memper-
oleh devisa bagi negara; ketiga, bagaimana meningkatkan
produktivitas rakyat. Hal pertama ini sulit akibat han-
curnya berbagai panen oleh aksi polisionil Belanda dari
1947 hingga 1949.
Sementara itu pemerintah pun menghadapi persoal-
an tiadanya cadangan devisa negara. Sampai saat itu, per-
4. Lihat Robert Cribb. Gejolak Revolusi di Jakarta 1946-1949, Pergulatan
antara Otonomi dan Hegemoni, Jakarta, Pustaka Utama Grafis, 1990.
46

