Page 121 - Prosiding Agraria
P. 121
106 STRATEGI PERCEPATAN IMPLEMENTASI REFORMA AGRARIA:
MELANJUTKAN PENYELESAIAN PERSOALAN AGRARIA UNTUK MEWUJUDKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
A. Pendahuluan
Reforma agraria merupakan salah satu alat yang efektif untuk mewujudkan pembangunan.
Hal ini dikarenakan kebijakan reforma agraria berkaitan dengan akses terhadap tanah yang
merupakan sesuatu yang bersifat mendasar bagi pembangunan sosial ekonomi, pengentasan
kemiskinan, serta bagi kelestarian lingkungan yang berkelanjutan. Lebih lanjut, reforma
agraria harus difahami tidak hanya sebagai kebijakan penataan aset seperti redistribusi tanah,
tetapi juga sebagai proses yang lebih luas seperti akses ke sumberdaya alam, modal, teknologi,
pasar, barang, dan tenaga kerja (Limbong, 2012).
Rujukan reforma agraria dalam pengelolaan sumber daya alam didasarkan pada Pasal
33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, prinsip-prinsip
Reforma Agraria sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria, serta arah kebijakan pembaruan agraria sesuai TAP MPR IX/2021 tentang
pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Landasan tersebut dijabarkan dalam
RPJMN tahun 2015-2019 dan RPJMN tahun 2020-2024. Untuk memperkuat dan memperjelas
pelaksanaan reforma agraria, diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang
Reforma Agraria yang selanjutnya diubah ke dalam Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2023
tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria (Nurahmani, 2024).
Reforma Agraria sendiri terdiri dari penataan aset dan penataan akses. Penataan aset
terdiri atas program redistribusi tanah dengan target 4,5 juta hektar dan legalisasi aset 4,5
juta hektar. Redistribusi tanah bersumber dari 4,1 juta Ha dari pelepasan Kawasan hutan
dan 0,4 juta tanah yang berasal dari eks HGU, tanah terlantar dan tanah negara lainnya.
Sementara itu legalisasi aset memiliki target 3,9 juta Ha untuk Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap (PTSL) dan 0,6 juta Ha untuk tanah transmigrasi yang belum bersertipkat. Tujuan
penataan aset tersebut agar masyarakat miskin memperoleh tanah melalui redistribusi,
sekaligus menegaskan dan memperkuat hak atas tanah melalui legalisasi. Selain itu juga
dapat mendukung penyelesaian konflik agraria yang berkeadilan. Dampak yang diharapkan
tentu saja pengentasan kemiskinan dan pengurangan kesenjangan, serta menekan adanya
konflik agraria (Kantor Staf Presiden, 2016).
Sesuai dengan Strategi Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria 2016–2019, telah teridenfikasi
bahwa tantangan dalam kelembagaan Pelaksanaan Reforma Agraria adalah perlunya lembaga
khusus yang menjalankan dan mengembangkan agenda, program dan kegiatan reforma
agraria, adanya sektoralisme kelembagaan dan regulasi dalam penguasaan dan pengelolaan
tanah, hutan dan kekayaan alam lainnya, serta Belum sinerginya pelaksanaan tugas dan
fungsi kelembagaan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang berkaitan dengan
agraria. Terkait dengan hal tersebut diperlukan “Kelembagaan Pelaksana Reforma Agraria
Pusat dan Daerah” dengan indikator keberhasilan target ditandai dengan bekerjasamanya
kementerian dan lembaga secara sinergis, menguatnya peran pemerintah daerah (provinsi,
kabupaten/kota, dan desa) serta masyarakatnya dalam pelaksanaan reforma agraria (Kantor
Staf Presiden, 2016).