Page 101 - Kondisi dan Perubahan Agraria di Ngandagan
P. 101
Ahmad Nashih Luthfi dkk.
sa “trauma” jika harus mengajukan lagi. Akhirnya
mereka tetap di Ngandagan, bertahan tanpa memiliki
sawah garapan.
Dinayah bekerja sebagai buruh tani. Pada masa
tanam padi, ia memburuh dengan upah Rp. 7000 tanpa
makan. Jika mendapat makan, upahnya adalah Rp.
6000. Sehari ia mampu memburuh tanam seluas 30
ubin. Lama musim tanam bisa sampai dengan 15 hari.
Dari upah buruh tanam, itu ia bisa mendapat Rp.
90.000-105.000 selama satu musim tanam. Sedangkan
untuk menyiangi rumput (matun), dari sawah yang
ada di depan SD yang kebanyakan adalah tanah
buruhan dan tanah bengkok, ia mendapat upah Rp.
6000 perhari. Berbeda jauh dengan upah matun di
sawah di daerah atasnya. Dari sawah ini Sadiyah bisa
mendapat upah Rp. 15.000.
Pada masa panen, Dinayah turut melakukan kerja
nderep di sawah orang lain di dalam desa Ngandagan
dan sekitarnya. Ia bisa mendapat upah bawon sekitar
10 kg/hari, selama 10-15 hari selama musim panen.
Namun jika ada tebasan, pendapatannya menurun.
Penebas lebih menyukai membawa tenaga kerjanya
sendiri dalam rombongan, yang diambil dari tenaga
tebas dari desa Kalikotes, Kaligintung, kaliglagah, dan
kedung batur. Mereka umumnya tenaga kerja yang
kuat-kuat.
Penebas yang dikenal Dinayah dari desa Nganda-
gan adalah Pak Joyo dan Mas Sugeng, mereka terma-
suk orang yang mampu di desa. Menurutnya, tebasan
sering dilakukan ketika padinya tenggelam karena
sering turun hujan, sehingga pemilik tidak mau repot.
80