Page 97 - Kondisi dan Perubahan Agraria di Ngandagan
P. 97
Ahmad Nashih Luthfi dkk.
nya untuk persediaan pangan sehari-hari. Jika mereka
menjualnya untuk membeli pakaian atau barang-barang
pabrik, pada masa selanjutnya mereka akan kekurangan
pangan. Hampir merata buruh tani Ngandagan
mengalami kekurangan usaha tani karena sempitnya
akses ke penguasaan tanah. Situasi itu agak berbeda
dengan penggarap buruhan 45 ubin yang pada awalnya
memperoleh tanah dari redistribusi di tahun 1947 dan
dewasa ini mereka mesti bertarung untuk memper-
tahankan tanah sawah garapan itu.
Selain gambaran di atas, terdapat fenomena yang
menarik mengenai strategi tunakisma dalam turut serta
menerima hasil panen/akses atas produk tanah. Dengan
cara menjual barter dawet atau tape singkong dengan
gabah tatkala berlangsung proses pemanenan. Seseorang
bisa mendapatkan hasil yang relatif tinggi. Fenomena ini
dikenal dengan istilah ngurup (barter).
Transaksi barter ini dilakukan antara buruh tani
yang sedang melakukan proses pemanenan dengan
perempuan “penjual” tape singkong atau laki-laki
“penjual” dawet. Setiap satu “besek” gabah mendapat
sebungkus tape singkong seharga Rp. 2.000. Satu “besek”
ini kira-kira 1-1,5 kg gabah kering. Jikalau ditukar dengan
dawet, maka tidak ada takaran khusus. Berapapun yang
diberikan buruh tani akan ditukar dengan dawet
sepantasnya. Umumnya, harga dawet yang ditawarkan
sekitar Rp. 1.000 per bungkus plastik.
76