Page 439 - Gerakan-gerakan Agraria Transnasional
P. 439
Mengklaim Tanah Untuk Reformasi Gerakan Agraria
dari kasus-kasus lingkungan hidup adalah masalah peme-
rintah, bukan dalam lingkup NGO lingkungan.
Secara politik, gerakan pada waktu itu menghadapi
masa kritis, dibawanya isu itu kedalam keterbukaan fakta
bahwa itu adalah ‘masalah lingkungan’ ternyata tidak
seramah kalau itu dibawa ke isu yang sifatnya tidak politis,
sebagaimana organisasi keadilan lingkungan telah tun-
jukkan. Memang, Kedung Ombo adalah contoh dari
artikulasi lingkungan dan wacana agraria di Jawa (Adi-
tjondro 2003), ini adalah sebuah peristiwa yang menghu-
bungkan beberapa kejadian. Namun , kegagalam kampanye
untuk menghentikan bendungan sebagian karena kekerasan
dalam sejarah agraria Jawa menyisakan sebuah hambatan
untuk kegiatan gerakan berbasis hak agraria selama tahun
1980-an dan awal 1990-an. Selanjutnya, sejarah ini
memaksa tingkat dan cara di mana beberapa aktivis
keadilan lingkungan bersedia untuk melanjutkannya.
Di Luar Jawa, khususnya di Sumatra, Sulawesi dan
Kalimantan, dimana masih ada ruang untuk manuver, yaitu
di provinsi-provinsi dengan hutan yang rata-rata dua pertiga
hingga tiga perempat dari keseluruhan wilayah berada di
bawah juridiksi Departemen Kehutanan. Pada daerah ini
pendukung keadilan lingkungan cenderung bersekutu de-
ngan kelompok-kelompok lokal yang akhirnya menyebut
diri mereka sebagai Masyarakat Adat (Li 2000). Asal-usul
dan identitas dari kelompok-kelompok ini, dan organisasi
nasional yang dibentuk di akhir 1990-an, melihat dirinya
sendiri baik sebagai organisasi gerakan agraria maupun
organisasi keadilan lingkungan.
Di Indonesia, Organisasi Masyarakat Adat ini per-
tama kali terdiri dari masyarakat yang telah terusir dari
tanah mereka oleh proyek-proyek pembangunan skala besar
yang terkait dengan kehutanan, perkebunan, transmigrasi,
bendungan atau pariwisata berskala besar. Pengalaman
pengambilalihan tanah mereka itu menempatkan mereka
425

