Page 441 - Gerakan-gerakan Agraria Transnasional
P. 441
Mengklaim Tanah Untuk Reformasi Gerakan Agraria
yang mengidentifikasikan diri sebagai Masyarakat Adat
sebagian besar tinggal di luar Jawa, di daerah yang hingga
sampai tahun 1940-an sebagian besar masih di bawah
pemerintahan tidak langsung kolonial. Etnis Jawa, Sunda
dan Bali tidaklah benar-benar dianggap ‘suku’ sebagaimana
karakteristik Masyarakat Adat yang disepakati oleh pejabat
kolonial dan pengamat, ilmuwan sosial dan NGO Indone-
189
sia. Memang ketentuan pluralisme hukum kolonial telah
mengakui ‘teritori adat’ dari kelompok-kelompok tersebut
sebagai tempat di mana mereka diberikan kekuasaan atas
kepemilikan tanah, diantara fungsi-fungsi pemerintahan
lainnya. Bagi orang-orang pribumi di daerah hutan di In-
donesia, Undang-undang yang paling mengancam adalah
Undang-undang Kehutanan (Ruwiastuti 2000). Undang-
undang ini mendefinisikan ‘kepemilikan hutan-agro’ atau
‘area dilindungi’ mereka sebagai tanah ‘kosong’ dan
‘ditinggalkan’, dan juga mengkriminalisasi sistem budaya
pertanian perladangan berpindah mereka.
Kembali ke dasar masalah aktifitas agraria...
Setelah kampanye Kedung Ombo, aktivis agraria dan
aktivis keadilan lingkungan bekerja lebih erat dengan
YLBHI untuk membantu penduduk desa dalam sengketa
hak tanah di Jawa dan sebagian Sumatra (Aspinal 2004).
Meskipun masih sangat nyata risiko untuk dituduh sebagai
pendukung ‘komunis’ dan lebih buruk lagi ditangkap bagi
para aktivis yang mengorganisir protes untuk menarik
perhatian pada perjuangan tanah milik para petani. Tidak
seperti WALHI, para aktivis pada awal 1990-an mem-
bingkai dukungan mereka dalam hal hak-hak masyarakat
adat (keadilan lingkungan) dan mengkritisi undang-undang
189 Ini kemudian berubah, ketika orang Bali, Baduy dan kelompok lain
bergabung AMAN dan memperluas dasar nasional dan definisi kerja
masyarakat adat di Indonesia.
427

