Page 444 - Gerakan-gerakan Agraria Transnasional
P. 444
GERAKAN AGRARIA TRANSNASIONAL
Reformasi dan Neoliberalisme: Ledakan, Radikalisasi,
Rutinisasi dan Fragmentasi Pergerakan
Pembebasan dari penindasan meledak tepat dengan
jatuhnya Suharto pada tahun 1998; perubahan utama
datang dengan Reformasi. Segera setelah itu Soeharto
lengser, puluhan petani, orang-orang tak bertanah dan
petani pemilik tanah kecil menduduki hutan negara dan
lahan perkebunan. Mereka menebang karet, kakao, jati,
pinus dan banyak spesies ditebang di hutan hujan. Pada
tanah-tanah perkebunan dan hutan negara, mereka me-
nanam singkong, padi, pisang, durian dan kelapa sawit
milik sendiri. Pada awal September 2000, Direktur Jenderal
Departemen Kehutanan dan perkebunan memperkirakan
sekitar 118.830 hektar lahan perkebunan nasional telah di-
ambilalih, bersama dengan 48.051 hektar lahan perkebunan
swasta (Kuswahyono 2003; di Fauzi 2003). Untuk pertama
kalinya dalam 35 tahun, organisasi petani terbentuk,
memperdebatkan politik pertanahan, menemukan sekutu
di dalam dan di luar pemerintahan, dan meletakkan dasar
bagi suatu lintasan baru dalam mobilisasi untuk berjalannya
reforma agraria (Lucas dan Warren 2003).
Kelompok reforma Agraria tidak lagi harus bekerja
secara sembunyi-sembunyi, tapi lamanya masa penindasan
dengan kekerasan telah mempengaruhi bentuk ekspresi
para oposisi. Tidak sampai beberapa tahun setelah “re-
formasi” Indonesia, kebijakan neoliberal membuat kema-
juan yang luar biasa dengan dicetuskannya desentralisasi
kekuasaan Negara, ada sejumlah besar petani dan petani
kecil yang bersedia secara terbuka bergabung dengan
organisasi agraria. Namun mobilisator dari akademisi dan
aktivis membingkai pergerakan ini secara berbeda, petani
yang dimobilisasi adalah mereka yang telah melihat
demonstrasi, protes dan tuntutan sebagaimana mirip
dengan orang-orang yang telah ditekan dengan keras pada
430

