Page 443 - Gerakan-gerakan Agraria Transnasional
P. 443

Mengklaim Tanah Untuk Reformasi Gerakan Agraria

               reforma agraria berbasis petani  - cara mereka terlibat
               menganut gerakan dan wacana lingkungan, nasional
               maupun internasional. Aktivis mahasiswa yang bekerja di
               Jawa, Bali dan sebagian Sumatera, di mana ketegangan
               kelas pedesaan telah lama menjadi masalah, cenderung
               untuk memisahkan agenda reforma agraria dari agenda
               lingkungan, meskipun pada waktu (seperti di Kedung
               Ombo) mereka terlihat cocok untuk bergabung dengan
               aktivis lingkungan. Mereka harus bergerak diluar penga-
               matan publik,  sampai akhir dari Rezim Soeharto - ketika
               ia dipaksa mundur pada tahun 1998 saat krisis ekonomi.
               Pada awal hingga pertengahan tahun 1990-an, Jenis
               organisasi ‘Masyarakat Adat’ ditandai erat dengan merajut
               rangkaian gerakan agraria di luar Jawa dan Bali, yang mana
               sebagian besar mereka memiliki hubungan ke masalah
               keadilan lingkungan dan aktif lebih  terbuka.
                    Beberapa aktivis dan pemimpin bergerak dengan mu-
               dahnya di antara kelompok kerja lingkungan hidup, ma-
               syarakat adat dan isu-isu reforma agraria. Pada dasarnya,
               hal ini difasilitasi oleh kelompok yang tidak puas  dengan
               kebijakan rezim Soeharto yang  mengambil alih tanah
               secara besar-besaran dan penggalian sumber daya bagi
               pendapatan negara atau swasta. Mereka menemukan dasar
               bersama dalam mobilisasi melawan prinsip dari dualisme
               hukum: Hukum Kehutanan dan bagian dari Undang-
               Undang Pokok Agraria yang memungkinkan pengambil-
               alihan tanah negara. Kedua hukum ini adalah produk dari
               tahun 1960-an, tapi keluar dari bingkai ideologi yang
               berbeda yang telah menggerakkan dua rezim nasional
               pertama. Selama itu, efek kumulatif mereka telah meng-
               hilangkan atau mengabaikan hak komunal dan adat lainnya
               karena mendukung swasta barat dan hak milik negara
               (Djuweng dan Moniaga 1994; Heruputri 1997).





                                                                  429
   438   439   440   441   442   443   444   445   446   447   448