Page 92 - Tanah Hutan Rakyat
P. 92
Tanah Hutan Rakyat 79
Pada masa kepemimpinan Mulyadi (tahun 1983 – 1998),
segenap faktor dan proses yang dapat mengeksklusi masyarakat
dari tanahnya sebenarnya berpeluang terjadi. Tetapi karena
secara topografi kondisi tanah di Desa Kalimendong tidak
terlalu menarik (bergelombang dan terjal), maka para
investor di masa itu tidak tertarik membeli tanah milik
masyarakat. Kondisi ini memberi kesempatan pada Mulyadi
untuk memberi anjuran pada masyarakat, dan memberi
peluang bagi masyarakat untuk melaksanakan anjurannya.
Ada sebagian kecil masyarakat yang segera melaksanakan
anjurannya, sedangkan sebagian lainnya melakukan proses
peniruan, setelah kelompok pertama (sebagian kecil
masyarakat) mendapat manfaat. Ada dua bentuk peniruan
yang berlangsung di masyarakat, yaitu: (1) berdasarkan
kebiasaan yang dibangun dengan cara meniru, dan (2)
berdasarkan wawasan yang dibangun setelah berlangsungnya
komunikasi saat yang bersangkutan sedang meniru. Proses
mental masyarakat ini ditandai dengan adanya sikap, sebagai
suatu tanggapan aktual dan potensial masyarakat atas dunia
sosial yang berinteraksi dengannya. Berbekal pemahaman
tentang dunia sosial yang berinteraksi dengan masyarakat,
maka Mulyadi juga berupaya menata ulang tradisi desa yang
berkaitan dengan zakat fitrah.
Dalam ikhtiarnya, Mulyadi menata ulang tradisi
pengelolaan zakat fitrah, yang sebelumnya sebagian besar
diserahkan kepada Pak Kaum (perangkat yang menangani
urusan keagamaan atau Kepala Urusan Kesejahteraan
Rakyat). Bentuk penataan-ulangnya berupa perubahan