Page 109 - Land Reform dari Masa ke Masa
P. 109
90 Land Reform Dari Masa Ke Masa
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bahwa argumen
dan usulan itu diadopsi dengan cara dan pada situasi yang
tidak diduga-duga.
Sebulan setelah itu, Presiden Wahid mengeluarkan
keputusan untuk melanjutkan keberadaan BPN sebagai
lembaga pemerintah pusat, dan mendudukkan Menteri
Dalam Negeri sebagai Kepala BPN ex-oficio. Meskipun
dibuat sejumlah forum konsultatif bersama aktivis LSM dan
pemikir akademisi yang mempromosikan land reform,
namun BPN gagal untuk membuat agenda yang konklusif
untuk membuat kebijakan land reform yang baru.
Kepemimpinan BPN banyak mengerahkan energi untuk
melawan pemerintahan daerah yang menuntut
pelaksanaan desentralisasi kewenangan pertanahan
berdasarkan UU No 22/1999 pasal 11(2) yang secara jelas
mencantumkan bahwa pemerintah kabupaten/kota
memiliki kewenangan dalam bidang pertanahan.
Ketegangan berlanjut terus karena BPN menolak tuntutan
desentralisasi kewenangan pertanahan itu, maka ketegangan
dalam pembuatan pedoman pembagian kewenangan yang
jelas antara pemerintah kabupaten/kota, pemerintah
propinsi, dan BPN sebagai lembaga pemerintah pusat. Pada
tahun 2007 ketegangan itu diselesaikan oleh Peraturan
Pemerintah Nomor 38/2007 yang mengklarifikasi Divisi
Kewenangan Pemerintah antara Pemerintah Pusat,
Pemerintah Propinsi, dan kabupaten/kota Pemerintah (lihat
Hutagalung dan Gunawan 2008).
Kesempatan politik untuk menjalankan land reform
berubah ketika Presiden Wahid digantikan oleh Megawati
Sukarno Putri pada bulan Juli 2001. MPR RI memecat
Presiden Abdurahman Wahid karena dekrit untuk
membekukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indoensia (MPR RI) dan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPR RI), dan perintah untuk militer