Page 126 - Land Reform dari Masa ke Masa
P. 126
Yang Disebut “Reforma Agraia” 2005-2009 107
tatkala kriminalisasi atas akses rakyat yang hidup di dalam
atau sekitar kawasan hutan diaktualkan melalui tindakan-
tindakan represif oleh aparatur negara, atau juga melalui
pengerahan paramiliter.
Berbagai ragam bentuk kebijakan perhutanan sosial
(Social Forestry), seperti Hutan Kemasyarakatan (HKM),
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), Hutan
Desa, Hutan Tanaman Rakyat, dan Hutan Adat, adalah
suatu pengaturan hak dan kewajiban pemanfaatan suatu
bidang dalam “kawasan hutan” tertentu pada periode waktu
tertentu saja. Hak milik atas bidang dalam “kawasan hutan”
itu tetap berada di Kementerian Kehutanan. Bentuk-bentuk
perhutanan sosial ini tidak menyelesaikan masalah tenurial
dalam kawasan hutan. Dengan mengemukakan agenda
pengakuan kedaulatan masyarakat adat, berbagai organisasi
gerakan sosial pedesaan, seperti Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara (AMAN) dan ornop-ornop agraria dan
lingkungan hidup menantang klaim Departemen Kehutanan
ini. Mereka menolak wilayah masyarakat adat dimasukkan
dalam “Kawasan Hutan”, baik itu Hutan Produksi dan
Produksi Terbatas, Hutan Lindung, maupun Hutan
Konservasi. Baru-baru ini dilansir oleh suatu koalisi organsiasi
masyarakat sipil, sebuah dokumen “Menuju Kepastian dan
Keadilan Tenurial, Pandangan Kelompok Masyarakat Sipil
Indonesia Tentang Prinsip, Prasyarat dan Langkah
Mereformasi Kebijakan Penguasaan Tanah dan Kawasan
Hutan di Indonesia”, yang di antaranya mengusulkan untuk
menyelesaikan status hukum 31.957 desa yang berada di
dalam, atau tumpang tindih dengan, kawasan hutan; dan
menurut sumber BPS dan Departemen Kehutanan (2007),
71,06% dari desa desa tersebut menggantungkan hidupnya
dari sumber daya hutan (hal 6-7). 89
89 31.957 desa dari 72.816 desa seluruh Indonesia sama dengan