Page 29 - Land Reform dari Masa ke Masa
P. 29
10 Land Reform Dari Masa Ke Masa
Sekutu berlangsung sampai perundingan dengan
Belanda dilakukan pada tahun 1949 di Hague, Belanda,
dimana Konferensi Meja Bundar (KMB) menghasilkan
suatu perjanjian (lihat selanjutnya uraian pada bab V).
Selama dekade pertama setelah revolusi dari tahun
1949-1959, Indonesia menganut sistem politik demokrasi
liberal multi-partai. Manuver-manuver partai-partai
politik dan berbagai pemberontakan daerah membuat
pemerintahan nasional tidak stabil. Selama sembilan
tahun sistem parlementer Indonesia memiliki sembilan
perdana menteri dengan kabinet yang berbeda-beda.
Kepala Staf AD, Jenderal Nasution, menyimpulkan di
tahun 1959 bahwa sistem demokrasi liberal multi-partai
di Indonesia “hanya melahirkan kekacauan.” Sukarno
mengandalkan dukungan tentara untuk meredam
pemberontakan daerah di Jawa dan pulau-pulau luar,
untuk kampanye militer melawan Belanda untuk
merebut Papua Barat, dan “konfrontasi” dengan Malay-
sia. Setelah Sukarno memberlakukan keadaan darurat
perang (SOB, staat van oorlog) pada tahun 1957 dan
memulai apa yang disebut Lev (1996) sebagai sebuah
babak Transisi Menuju Demokrasi Terpimpin (Transi-
tion to Guided Democracy). Enam tahun di bawah
keadaan darurat militer (1957-1963) memungkinkan
tentara untuk menjadi sebuah kekuatan politik dan
ekonomi, termasuk memperoleh kendali atas semua
perkebunan-perkebunan yang sebelumnya milik
Belanda (Lev 1963, Sundhausen 1982).
Pada tahun 1959 dengan dukungan penuh dari elit
tentara, Sukarno membubarkan Konstituante, sebuah
komite nasional yang terdiri dari perwakilan partai politik
yang bekerja selama hampir empat tahun (1956-1959)
untuk menyusun konstitusi Republik Indonesia yang
baru. Namun, setelah konstituante mengalami suatu
kemelut politik, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit