Page 43 - Land Reform dari Masa ke Masa
P. 43
24 Land Reform Dari Masa Ke Masa
pada tahun 1854 ketika Gubernur Jenderal
memutuskan untuk menghentikan pemberian hak-
hak tanah partikelir; kemudian di tahun 1911
pemerintah kolonial mulai membeli kembali “tanah-
tanah partikelir” tersebut. Antara tahun 1921 sampai
1931, sekitar 456.709 hektar dari “tanah-tanah
partikelir” telah dibeli kembali oleh pemerintah
kolonial. Pada tahun 1950, pemerintah Indonesia
mengumumkan perkiraan jumlah total area “tanah-
tanah partikelir” di Hindia Belanda (Jawa) sebesar
sekitar 598.829 hektar (Tauchid1953: 35-37).
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945, “tanah-
tanah partikelir” dianggap bertentangan dengan prinsip
keadilan sosial, salah satu lima pilar dari prinsip Negara
Indonesia, Pancasila. Pada tahun 1958 pemerintah
menetapkan sebuah UU baru terkait penghapusan
“tanah-tanah partikelir” (UU No. 1/1958), yang
menyatakan bahwa semua hak dan keistimewaan yang
sebelumnya dimiliki oleh tuan tanah partikelir akan
dihapuskan oleh pemerintah. Para tuan tanah tersebut
diberikan pilihan antara menjual tanah mereka secara
langsung ke para petani, atau menyerahkan tanahnya
ke pemerintah untuk diredistribusikan kepada para
petani yang tinggal di bekas “tanah-tanah partikelir”
tersebut. Dalam kedua kasus tersebut, harga tanah
ditetapkan oleh pemerintah, dan bisa dibayarkan secara
dicicil dengan maksimal waktu lima tahun. Para tuan
tanah bisa memperoleh hak atas tanah dari pemerintah
untuk menjalankan usaha pertanian mereka di bekas
“tanah-tanah partikelir”nya itu dengan pembatasan yang
sesuai dengan peraturan perundang-undangan agraria.
Ketika UUPA ditetapkan di tahun 1960, proses
penghapusan “tanah-tanah partikelir” secara resmi
hampir selesai (Soemardjan 1962:24-25).