Page 50 - Land Reform dari Masa ke Masa
P. 50
Bagaimana Perkebunan Kolonial Tidak Menjadi Target Program Land Reform 1960-1965? 31
meninjau kembali dan merencanakan untuk
menghentikan semua hak-hak erpacht kolonial, dimana
setiap perkebunan mendapat konsesi selama tujuh puluh
lima tahun berdasarkan UU Agraria 1870 (Gautama dan
Harsono 1972:12-15).
Kemudian pada bulan Desember 1957, setelah
kegagalan perundingan di PBB untuk mendapatkan
Papua dari Belanda, Sukarno membuat sebuah
keputusan politik menasionalisasi semua perusahaan-
perusahaan Belanda. Sebagaimana dirumuskan dalam
UU No. 86/1958, kebijakan ini bertujuan untuk
memperkuat dasar potensi ekonomi nasional, dan
melikuidasi kekuasaan ekonomi kolonial. Sebuah
29
perusahaan milik negara yang dinamai P.P.N Baru 30
telah menjadi sebuah perusahaan milik negara terbesar,
sebuah arena baru dimana elit-elit manajerial baru dari
tentara meneguhkan posisi dan peranannya dan
memenuhi kepentingan-kepentingan mereka melalui
kendali atas sektor dan perusahaan-perusahaan
perkebunan (Mackie 1961:340).
Posisi, peranan dan kepentingan strategis dari
tentara dalam menguasai semua perkebunan-
perkebunan yang telah dinasionalisasikan itu
menyebabkan perkebunan-perkebunan kolonial selamat.
Lebih dari itu, “nasionalisasi kepemilikan Belanda
menciptakan sebuah kelas sosial baru, para tentara
pengusaha” (Caldwell dan Utrecht 1979:124). Tentara
menghalangi aspirasi masyarakat untuk menghapus
29 Untuk teks aslinya, lihat Ismet (1970), dan Soedargo
(1962:582-585). Lihat juga peraturan pemerintah lainnya yang
menjalankan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda
dalam Soedargo (1962:586-647).
30 Pusat Perkebunan Negara-Baru. P.P.N. yang “lama”, yang
kemudian digabung dengan P.P.N. Baru, merupakan kantor dari
Menteri Pertanian yang mengelola 35 perkebunan.