Page 56 - Land Reform dari Masa ke Masa
P. 56
Bagaimana Hutan Dipisahkan Dari Tanah Pertanian 37
untuk tujuan perang tanpa memperhatikan masalah
reforestasi, dan memerintahkan masyarakat untuk
mengubah tanah hutan menjadi tanah pertanian minyak
untuk bahan bakar (Jatropha) dan makanan, termasuk
untuk bala tentara Jepang (Soepardi 1974:1-40;
Departement Kehutanan RI 1986b:1-21; Peluso 1992:93-
97; Simon 1999:39-41). Sebagaimana disebutkan di bagian
awal, para petani pada mulanya menyambut perintah
Jepang untuk mengolah lahan hutan yang dulunya
terlarang, namun tidak terlalu lama sebelum para petani
melawan bentuk pemaksaan kerja pertanian ini.
Dengan proklamasi kemerdekaan 1945, elit-elit
politik mendorong pengelola hutan Indonesia untuk
menemukan cara-cara baru pengaturan hutan untuk
menjalankan prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam
Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945, terutama
pasal 33 yang menyatakan bahwa “bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat” (Poerwokoesoemo 1956:218;
Soepardi 1974:41-83). Sementara itu, perang kemerdekaan
membuat kendali kolonial terhadap hutan menjadi
mengendor, dan para penduduk desa bertindak secara
leluasa memanfaatkan hutan, termasuk mengambil kayu
di wilayah yang sejak lama dilarang. Berbagai ketegangan
mulai bermunculan. Namun, Jawatan Kehutanan yang
mewarisi sekitar tiga juta hektar tanah hutan di Jawa telah
gagal untuk mendirikan sebuah tatanan kelembagaan dan
pengaturan yang baru. Para pengelola hutan bersikukuh
untuk melanjutkan apa yang telah dilakukan oleh Boswezen
pada masa kolonial terdahulu.
Setelah pemberlakuan UUPA 1960, dua organisasi
gerakan pedesaan beraliaran kiri, Barisan Tani Indonesia
(BTI) dan Serikat Buruh Kehutanan Indonesia (SABUKSI),
melancarkan sebuah kampanye untuk memasukkan