Page 199 - REFORMA AGRARIA INKLUSIF
P. 199

Program pemberdayaan di lokasi B berlangsung insidental
                    dalam  arti hadir  sesekali  di  lapangan,  mengarusutamakan
                    keberhasilan dengan parameter fisik, fasilitasi infrastruktur
                    mutakhir, dan ditarget dalam waktu  singkat.  Hasilnya,
                    fasilitas yang ditinggalkan mangkrak tidak beroperasi karena
                    subjek  tidak diasah kemampuannya mengoperasikan  serta
                    merawat, instalasinya pun mahal dalam skala kemanfaatan
                    yang  sempit, mungkin juga  saat  program hendak  dimulai
                    masyarakat  tidak dilibatkan  sebagai  pengambil  keputusan
                    (sekadar penerima). Program ini tidak berlanjut dan tidak
                    memandirikan,  namun dinilai  berhasil karena ada fasilitas
                    fisik  yang  bisa didokumentasikan dan diukur  serapan
                    anggarannya.
                    Kedua  peristiwa  tersebut mempunyai kesamaan  dalam
                    kesungguhan pemrakarsa pemberdayaan,  di  lokasi  A
                    tampak dari kesabaran merawat proses dan tidak dihantui
                    keterbatasan,  di  lokasi  B  secara nyata memberikan
                    manfaat  langsung  karena  sumberdayanya  sangat  besar
                    (pemrakarsa  tidak berposisi  sebagai  penghubung lintas
                    sektor),  kesungguhan itu  yang belum  tampak  dalam
                    Petunjuk Teknis terkait Penataan Akses (baik dalam fungsi
                    GTRA maupun  dalam  rezim Direktorat) karena  persoalan
                    lapangan diselesaikan dengan  rapat-rapat,  laporan dengan
                    kelengkapan evidence peristiwa, ketersediaan data terinput
                    sebagai parameter  keberhasilan  keseluruhan program, dan
                    serapan anggaran tanpa harus dibandingkan dengan output
                    nyata dari serapan itu. Pola kerja demikian menambah beban
                    moral agen-agen di  lapangan yang bernurani, terlebih jika
                    agen-agen tersebut dalam kehidupan nyata menjadi bagian
                    dari SRA. Ini hal yang nyaris tidak dirasakan oleh para kawula
                    elit (pelayan publik) yang kesejahteraannya bersumber dari
                    kawula alit (rakyat jelata).
                    Pengemban  amanat Reforma  Agraria bisa  belajar  dari
                    dua peristiwa  ini untuk  merumuskan  Penataan Akses
                    yang memenuhi  substansi keberdayaan, kemanfaatan



            184   REFORMA AGRARIAN INKLUSIF:
                  Praktik Penataan Akses Rumah Gender dan Disabilitas
                  di Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul
   194   195   196   197   198   199   200   201   202   203   204