Page 62 - Jalan Penyelesaian Persoalan Agraria: Tanah Bekas Hak, Pengakuan Hukum Adat, Penataan Tanah Batam, Percepatan Pendaftaran Tanah, dan Integrasi Tata Ruang
P. 62
Problematika Pemberian Hak atas Tanah Bekas HGU ... 45
3 Redistribusi kepada warga “kelompok 50
Barajabat”
4 Jalan
Total 200
Pihak swasta (developer) yang melakukan pembangunan peru-
mahan harus mendapatkan persetujuan prinsip lokasi dari peme-
rintah daerah dan diwajibkan membayar “biaya kontribusi tanah”
kepada pemerintah daerah yang perolehan tersebut dicatat oleh
dinas pendapatan kabupaten. Seperti persetujuan Bupati Sima-
lungun yang diberikan kepada Direktur PT. Martua Jaya Perkasa
2
yang akan membangun perumahan seluas 96.350 m dengan kewa-
jiban membayar Rp. 48.000.000 (Rp. 500/meter) (Surat Bupati No.
503/2598/K-PPT/2011, tentang Persetujuan Prinsip Lokasi Pem-
bangunan Perumahan di Perdagangan, tanggal 27 Mei 2011).
Demikian pula kepada warga penerima redistribusi tanah akan
dikenai biaya “retribusi” oleh pemerintah daerah. Setiap rumah
tangga kira-kira membayar uang retribusi (kontribusi) sekitar Rp.
2
450.000. untuk tanah yang diterima seluas 300 m . Luasan tanah
yang dimiliki masyarakat inilah yang kemudian oleh Kantor Perta-
nahan Kabupaten Simalungun ditetapkan sebagai sasaran obyek
pendaftaran tanah (sertipikasi) melalui kebijakan Prona dengan
target 200 bidang tanah.
Dapat disimpulkan bahwa kebijakan prioritisasi tanah berlang-
sung melalui kebijakan pemerintah daerah yang menetapkan luasan
tanah bekas HGU tersebut mengikuti keputusan tentang Rencanan
Tata Ruang. Tata Ruang menjadi unsur yang menentukan perun-
tukan tanah dan pelepasan hak atas tanah. Mekanisme perpan-
jangan masa HGU oleh BPN mengikuti prinsip hak prioritas yang
ada pada pemegang hak semula, meskipun terdapat prioritas
peruntukan dan hak bagi pihak lain. Pelepasan hak berlangsung
antara pihak pemegang hak lama dengan calon pemegang hak baru.
Dalam posisi seperti itu, BPN melepaskan diri dari otoritasnya
sebagai pemegang Hak Menguasai Negara (Politik Pertanahan), dan
hanya memfungsikan dirinya sebagai pelaksana penguukuran dan
pendaftaran (Administrasi Pertanahan). BPN sebagai perumus dan
pelaksana politik agraria absen dalam kebijakan tanah pasca-HGU