Page 283 - Melacak Sejarah Pemikiran Agraria Indonesia Sumbangan Pemikiran Mazhab Bogor
P. 283

Ahmad Nashih Luthfi


               proyek pembuatan jalannya dipegang oleh Angkatan Darat yang
               mempekerjakan para tapol golongan C. Jalan itu melintasi desa
               Pakis di puncak gunung bekas tempat persembunyian alm.
               Jenderal Sudirman semasa perang gerilya.
                   Kelima anggota tim, kecuali pamannya sebagai ketua, adalah
               “orang-orang yang dirumahkan”. Meski demikian, dalam proyek
               tersebut Gunawan Wiradi mengantongi keterangan sebagai ang-
               gota KOKAR (Komando Karyawan Angkatan Darat) atas jami-
               nan sepupunya. KOKAR adalah 1 dari Kelompok Induk Orga-
               nisasi (KINO) dari Golkar. Lainnya adalah MKGR, Kosgoro, dan
               KASI. Di sinilah Gunawan Wiradi pernah dibujuk menjadi juru
               kampanye Golkar dan ia menolaknya.
                   Ia bersama 5 anggota tim lainnya bertugas merumuskan pe-
               ngembangan    pertanian.  Mengingat   lokasi  proyeknya   di
               pegunungan, maka diusulkan usaha tanaman keras. Proposal
               senilai Rp 150 juta yang diajukan ke PT. Kembang Mas diterima.
               Proyek penanamannya dengan membeli langsung bibit cengkeh
               dari Cibinong dan bibit kelapa dari Beji Jawa Tengah. Bibit-bibit
               yang ditanam ini dapat tumbuh dengan baik. Meski demikian,
               anggaran itu dikorupsi oleh Angkatan Darat. 76

               H. Menempuh Jalan Sunyi
                   Pada tahun 1972 itu pula paman Gunawan Wiradi,
               pendidik di masa kecilnya, pulang ke tanah air setelah selesai
               menjalankan tugasnya sebagai Duta Besar di Swedia. Ia adalah
               alm. Soewito Kusumowidagdo, Mantan Deputi Menlu di zaman
               Bung Karno. Pamannya itu marah melihat Gunawan Wiradi
               berpetualang. “Engkau harus kembali ke dunia intelektual! Cara-
               nya? Belum tahu! Nanti pasti ada jalan!”. 77
                   Gunawan Wiradi lalu “dikurung” dalam perpustakaan pa-
               mannya, untuk membaca buku apa saja yang ia minati. Sang
               paman pernah berkata,




                   76  Ibid.
                   77  Endang Suhendar, op.cit.
               230
   278   279   280   281   282   283   284   285   286   287   288