Page 14 - Proposal Riset Desain Strategi Pertahanan Aktif untuk Pencegahan Peredaran Gelap Narkoba
P. 14
45
sebagaimana rekomendasi Survei 2016. Sementara Survei 2019, dengan temuannya sendiri sebagaimana
dikutip di atas, ternyata tidak mampu menahan para penulisnya untuk menyimpulkan bahwa
“[c]eramah/penyuluhan masih dianggap cara paling tepat dalam penyampaian bahaya narkoba” dan
bahwa “sosialisasi tentang bahaya narkoba [..] perlu ditingkatkan.” Tanpa menafikan peran pengetahuan
dan penyuluhan, tentunya perlu dirumuskan rekomendasi yang lebih spesifik, yang tidak normatif seperti
ini, dan yang tidak seolah-olah membatalkan temuannya sendiri.
Kedua temuan di atas tentang korelasi yang tidak signifikan antara pengetahuan dengan keputusan
penyalahgunaan narkotika sebenarnya adalah titik berangkat yang berharga, tidak hanya untuk
merumuskan strategi menyelenggarakan penyuluhan, melainkan bahkan dalam merumuskan strategi
pencegahan. Dalam terma studi strategis, “pengetahuan bahaya narkoba” yang dimiliki masyarakat
ternyata tidak cukup kuat membentengi mereka dari serangan dan ancaman “pengetahuan nikmatnya
narkoba sekalipun beresiko tinggi.” Hal ini seharusnya membawa kita bertanya, lantas bangunan
pengetahuan seperti apa yang dapat dengan kuat membentengi masyarakat dari serangan pengetahuan
narkotika dari lawan? Berlaku juga sebaliknya: bagi yang pertahanannya sudah dibobol “pengetahuan
nikmatnya narkoba,” maka “pengetahuan bahaya narkoba” seperti apa yang dapat menyerang dan
menjebol balik pengetahuan lawan yang sudah terlanjur bercokol tersebut? Kedua pertanyaan ini secara
bersamaan dengan sendirinya memindahkan pengetahuan dan penyuluhan dari sekedar upaya sekunder
dalam pencegahan menjadi juga upaya primer untuk menyerang pengetahuan lawan. Itulah mengapa
penting bagi kajian ini untuk mendudukkan perkara pengetahuan dan penyuluhan ini secara strategis,
yaitu sebagai perang wacana di medan persepsi kognitif masyarakat.
Keterputusan bukti/temuan dengan rekomendasi kebijakan dari kedua survei di atas juga
menunjukkan persoalan lain mengenai hubungan antara riset dan kebijakan narkotika secara umum.
Bahaya dari kebijakan terkait obat-obatan yang tidak berdasarkan riset dan pembuktian (evidence-based
policy) sudah banyak didokumentasikan. Demikian pula sebenarnya terkait perumusan terma active
46
defense (Pertahanan Aktif) yang harus diakui masih belum cukup terasa bobot akademik dan ilmiahnya.
Takdir seluruh kebijakan adalah bias—ini adalah sesuatu yang tidak terhindarkan. Keseharian teknokratis
para pengambil kebijakan membuatnya melihat permasalahan hanya dari sudut pandang
kelembagaannya semata. Di sinilah peran dan fungsi dari komunitas akademik: masuk dan menawarkan
45 BNN dan Pusat Penelitian Kesehatan UI, “Hasil Survei Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba Pada
Kelompok Pelajar dan Mahasiswa Di 18 Provinsi Tahun 2016,” 52.
46 Kari Lancaster, “Performing the evidence-based drug policy paradigm,” Contemporary Drug Problems 43, no. 2
(2016): 142–53; John Strang et al., “Drug policy and the public good: Evidence for effective interventions,” The Lancet 379, no.
9810 (2012): 71–83; Alex Stevens dan Alison Ritter, “How can and do empirical studies influence drug policies? Narratives and
complexity in the use of evidence in policy making,” Drugs: Education, Prevention and Policy 20, no. 3 (2013): 169–74.
14 | Proposal Riset Desain Strategi Pertahanan Aktif (Active Defense) |
Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (UBJ) dan Badan Narkotika Nasional (BNN)