Page 214 - Ayah - Andrea Hirata
P. 214

Ayah ~ 201


            atau soal akta kelahiran Zorro, yang pernah ditanyakannya ke

            kantor desa dan kades bilang bahwa itu urusan pengadilan
            agama. Begitulah  pemikiran Sabari  soal  kedatangan lelaki
            berbaju safari empat saku itu. Tak ayal tokoh kita bertanya,
            “Kalau boleh tahu, apakah isi surat itu, Pak?”
                 “Maaf, saya adalah juru antar surat, penyampai amanah

            yang diutus panitera pengadilan agama, saya tak berhak dan
            tak boleh membicarakan isi surat yang saya sampaikan.”
                 “Mengerti, Pak.”
                 “Baiklah, kalau begitu saya ulangi, apakah benar nama
            Saudara adalah Sabari bin Insyafi, dengan alamat ini, bahwa
            tak ada orang lain bernama sama di kampung ini? Bahwa
            nama ini hanya Saudara, Saudara melulu, dan satu-satunya
            Saudara?”

                 Sabari  tercenung. Namanya  dan seluruh  niat di balik
            nama yang diberikan ayahnya itu, agar dia menjadi  orang
            yang sabar, adalah hal yang sederhana, tetapi di mata hukum
            ternyata bisa menjadi runyam.
                 “Setahu saya memang ada empat nama Sabari di Be-

            lantik ini, Pak. Sabari tukang las, dia pegawai PN Timah, lo-
            los PHK, dia dipindahkan meskapai ke Kundur, jadi sudah tak
            di sini. Yang kedua, Sabari bin Sampani, bukan bin Insyafi.
            Yang satu lagi tidak mungkin menerima surat panggilan se-
            bab dia sudah dipanggil sendiri oleh Yang Mahatinggi karena
            disambar petir tempo hari. Singkat kata, singkat cerita, surat
            ini pasti untuk saya, Pak.”
   209   210   211   212   213   214   215   216   217   218   219