Page 215 - Ayah - Andrea Hirata
P. 215

202 ~ Andrea Hirata


              Sabari tersenyum lebar untuk mencairkan suasana yang

          membeku  itu.  Petugas tak terpengaruh. Baginya semua itu
          tidak lucu, tetapi tragis. Sabari menghentikan senyumnya de-
          ngan cara pahit.

              “Baiklah.” Juru antar membuka koper kecil model lama
          dan mengeluarkan sebuah buku ekspedisi, persis buku utang
          di warung Sabari.
              “Sila saudara terima surat ini dan tolong tanda tangan
          di sini.” Juru antar menunjuk satu lokasi Sabari harus men-

          cantumkan nama lengkap, tanggal, dan tanda tangan. Sabari
          melakukannya dengan gesit. Senyumnya bersemi lagi. Petu-
          gas heran.

              “Kalau boleh saya bertanya, mengapa Saudara senang
          menerima surat panggilan dari pengadilan?”
              Sabari menatap petugas.
              “Karena baru  kali  ini seumur hidup saya menerima
          surat,  Pak. Memang  dulu sering juga saya menerima  surat

          untuk disampaikan kepada ayah saya, tapi itu surat pembe-
          ritahuan agar melunasi tunggakan iuran sekolah. Jadi, baru
          kali ini saya benar-benar menerima surat. Apalagi, surat ini

          dikirim oleh instansi pemerintah! Untuk saya, Sabari, bangga
          sekali saya, Pak.”
              Juru antar ternganga sedikit mulutnya. Sabari menerima
          surat dengan takzim. Diamati amplopnya, cokelat, tebal dan
          kaku, nama dan alamat penerima diketik rapi. Zorro sedang
   210   211   212   213   214   215   216   217   218   219   220