Page 218 - Ayah - Andrea Hirata
P. 218
Ayah ~ 205
benar-benar memahami maksudnya. Surat itu mengandung
istilah yang asing baginya, misalnya juru sita pengganti, pe-
mohon, termohon, dan lain-lain. Seingatnya, dia tak pernah
mengajukan permohonan untuk dinyatakan sebagai rakyat
di bawah miskin pada negara. Dia tahu banyak tetangganya
membuat permohonan seperti itu melalui kantor desa, lalu
diberi stiker untuk ditempel di pintu, selanjutnya menerima
bantuan ini dan itu. Sabari miskin, tetapi merasa masih mam-
pu mandiri.
Dibacanya lagi surat itu pelan-pelan macam anak kelas
dua SD baru pandai membaca, masih tak paham juga. Na-
mun, meski tak paham, setiap kali habis membaca, dia mera-
sa seakan sebilah belati menusuk dadanya.
Malamnya Sabari tak bisa tidur. Keesokannya disampai-
kannya pesan kepada orang yang mau ke Tanjong Pandan
agar mampir ke warung satai kambing muda Afrika. Sabari
memerlukan bantuan Tamat dan Ukun. Sore itu pula, surat
itu sudah berada di tangan Ukun.
“Ini adalah surat panggilan dari pengadilan agama kare-
na kau akan dimejahijaukan oleh Lena.”
“Maksudnya?”
“Kau diseret Lena ke pengadilan.”
Sudah barang tentu Sabari tak terima.
“Ini dokumen negara! Jangan kau sembarang bicara,
Boi!”

