Page 365 - Ayah - Andrea Hirata
P. 365

352 ~ Andrea Hirata


              Telinga Dinamut berdiri. Dia telah bertarung dengan

          banyak pelari, tetapi kesumatnya adalah Sabari. Ditingkat-
          kannya latihan tiga kali lebih keras daripada biasanya. Sabari
          tahu Dinamut mau menggulungnya. Sabari gugup. Tak ada
          pilihan lain selain berlatih keras juga.
              Waktu itu, seperti biasa, Sabari duduk di bawah pohon

          kersen, di depan kios pangkas rambut Darmawan, lokasi ter-
          hormat tempat para kuli serabutan selalu berkumpul sambil
          memegang sabit, palu, pacul, linggis, atau sekop. Di situlah
          mereka menunggu juragan toko memanggil  untuk meng-
          angkat ini-itu, menunggu ibu rumah tangga minta bantuan
          memanggul segunung belanjaan, menunggu sopir mobil pi-
          kap mengajak dua atau tiga kuli untuk merobohkan rumah
          tua atau membabat rumput. Adakalanya seorang berpakaian

          rapi, bermulut manis, bermata licik mengajak semua kuli, un-
          tuk berdemo. Upahnya lebih bagus daripada menggali sumur.
              “Jangan menoleh!” Orang itu membentak.
              Sabari terkejut melihat seseorang di belakangnya, me-
          munggunginya. Sepintas tampak orang itu tinggi besar seperti

          Arnold Swasanaseger dalam film Terminator. Lehernya seperti
          pohon kelapa. Lengannya berbongkah-bongkah macam batu
          granit di Pantai Tanjong Tinggi.
              “Kataku jangan menoleh!”
              Sabari ketakutan.
              “Saya tak pernah ikut demo, Pak.”
              “Benar kamu tak pernah ikut demo?!”
   360   361   362   363   364   365   366   367   368   369   370