Page 101 - Perempuan Yang Ingin Membeli Masa Lalu
P. 101

Tak  seperti  biasanya.  Mungkin  dia  sedang  kelelahan.  Aku
               akan membangunkannya ketika azan subuh berkumandang.
                       ―Mak, bangun, Mak. Sudah subuh.‖
                       ―Iya, Nak.‖
                      Setelah  salat  subuh,  Bapak  tak  juga  pulang.  Tanpa
               pikir panjang, aku langsung pergi ke sawah. Emak hanya bisa

               diam seolah dia diserang penyakit bisu. Untuk perpikir saja
               dia engggan.
                      Pekerjaanku  sudah  selesai.  Rumah  juga  sudah  rapi.
               Aku  pergi  menyusuri  pematang  sawah  yang  licin  seraya
               menengok  ke  kanan  dan  kiri.  Pandanganku  terhalang  kabut
               yang  mencoba  ikut  berlarian  denganku.  Di  sawah  Juragan
               Bagja tak ada. Mungkin di kebun Mbah Inah. Biasanya Bapak

               bersih-bersih kebun sebelum ke sawah.
                       ―Astagfirullohal‘adzim… Ya Allah, Bapak!‖
                      Aku  menangis  sejadi-jadinya.  Entah  apa  yang  sedang
               aku  lihat.  Apa  mungkin  tubuh  yang  menggantung  dipohon
               mangga     itu   Bapak?     Ku    coba    mengucek     mataku
               sekeraskerasnya  dan  mencubit  pipi,  hingga  menampar

               wajahku. Tapi ini nyata. Bukan mimpi atau pun lamunan.
                      Rumahku  menjadi  ramai  oleh  warga.  Gubuk  surga  ini
               akhirnya  dikunjungi  oleh  kepala  desa,  camat,  polisi,  bupati,
               dan  semua  yang  memiliki  pangkat.  Hanya  Aku  yang  mampu
               berdiri  disamping  keranda  dan  menyalami  tamu  yang
               mengucapkan bela sungkawa.






                                                         92

                        Antologi Cerpen PEREMPUAN YANG INGIN MEMBELI MASA LALU
   96   97   98   99   100   101   102   103   104   105   106