Page 102 - Perempuan Yang Ingin Membeli Masa Lalu
P. 102
Hatiku berbicara, ―Akhirnya aku bisa bertemu para
pejabat tanpa harus repot-repot pergi ke kota. Tapi, aku tak
ingin jika menukarnya dengan nyawa Bapak.‖
Aku hanya bisa menyediakan mereka arem-arem yang
semula akan ku jual. Ku lihat mereka memandang aremaremku
seperti sampah yang ku sajikan dalam piring. Tapi, mereka
mencoba mulai mengulurkan tangan dan memberanikan diri
menyentuh arem-aremku. Mereka pasti akan merasa
terhipnotis oleh makanan buatanku ini. Benar saja, satu
gigitan menyumpal gengsi mereka hingga menerbitkan
senyuman.
Di sudut lain, Emak hanya terdiam di kamar dan tak
ada air mata yang keluar sedikit pun dari wajahnya. Pipinya
kering, matanya juga tak membentuk bendungan air seperti
biasanya. Emak juga tak mau disalami oleh siapa pun. Dia
hanya duduk merangkul Al-qur‘an dan mengenakan mukenah
kecoklatannya. Hingga Bapak benar-benar lenyap ditelan
tanah, Tejo dan Agus tak nampak pulang. Batinku begitu
terkoyak melihat keadaan ini. Belum lagi aku harus mengikuti
ujian minggu depan.
***
Dukaku harus cepat berakhir. Seperti biasanya aku
menggendong tas dan membawa baskom. Semakin
bertambahnya hari, Emak semakin murung saja. Tak ada kata
yang dapat terucap dari bibirnya. Perjalananku akan diiringi
Mas Oji dan Sri. Tapi tak seperti perjalanan biasanya, aku
93
Antologi Cerpen PEREMPUAN YANG INGIN MEMBELI MASA LALU

