Page 109 - Perempuan Yang Ingin Membeli Masa Lalu
P. 109
Toha, putra sulung itu langsung menanggapi, ‖Kamu itu
seorang wanita ingat! Buat apa sekolah tingi-tinggi? Nantinya
kamu juga hanya berkutat di dapur Mila. Mau jadi apa sih
minta dikuliahkan!‖
Semuanya hanya menamatkan sekolah sampai Sekolah
Menengah Pertama. Kecuali kakak laki-lakinya yang kedua dan
dia, yang secara akademis selalu menunjukkan nilai yang
gemilang.
―Kakak harusnya lihat nilaiku dulu baru berkomentar.
Lagipula aku hanya minta restu, aku tidak minta dibayarkan.
Aku dapat beasiswa,‖ jawabnya dengan lagak angkuh.
―Kakakmu si Ali juga nilainya bagus-bagus. Tapi dia
memilih tidak melanjutkan. Karena apa? Karena kondisi
keluarga kita, Mila. Hidup di kota butuh banyak uang. Jangan
sombong dengan beasiswamu yang tidak seberapa.‖
―Buat apa sekolah tinggi-tinggi, Dik? Seorang wanita
nantinya hanya berkewajiban mengurus suami dan anaknya.‖
Kakak perempuannya ikut menanggapi.
―Kartini membuat persamaan derajat pendidikan
lakilaki dan perempuan, Mbak! Siapa bilang perempuan gak
boleh kerja, gak boleh sekolah. Pokoknya aku, bagaimanapun
harus tetap sekolah.‖
Dia tetap berangkat ke kota dengan mimpinya, tanpa
ada iringan keluarga. Hanya saja ibunya sesekali menghapus
air mata yang keluar dari matanya. Ia memang wanita
tangguh. Tanpa uang saku bulanan dari keluarganya, ia mampu
berjalan sendiri sampai lulus dan melanjutkan S2. Baginya,
100
Antologi Cerpen PEREMPUAN YANG INGIN MEMBELI MASA LALU

