Page 161 - Perempuan Yang Ingin Membeli Masa Lalu
P. 161
menutupkan matanya dengan bibirnya yang tidak berhenti
tersenyum. Masih menyusun alur mimpinya dengan tekun.
Ia geragapan bangun, mengambil air wudu dan salat
subuh. Beruntung, tubuhnya telah terbiasa bergerak cepat di
pagi hari. Setelah mandi dan membungkus sarapannya, ia
mengambil sepedanya dan mengayuh lekas ke kantor pos. Ia
akan mengirimkan surat-suratnya yang telah ia tulis semalam
tadi. Kegiatan pun berlanjut di sebuah lapak di pasar daerah
Pamotan. Sanef sudah datang mendahului untuk menyusun
daging-daging kambing serta sapi yang baru saja ia sembelih
sendiri. Anaknya, perempuan itu, datang dari kantor pos
segera membantu ayahnya dengan cekatan. Sanef
memandang lega dan meninggalkan putrinya untuk menyesap
kopi hitamnya.
“Ngirim surat, neh?”
“Nggih, Pak,”
Sanef melanjutkan sesapan kopinya hikmat. Perempuan
itu tersenyum saja. Merasa lega bahwa ayahnya tidak
melanjutkan pertanyaannya. Ia tahu, bahwa Sanef bukanlah
pribadi yang suka basa-basi. Dan ia besyukur akan itu. Sambil
menata daging-daging dan melayani pelanggan yang satu-dua
datang di pagi sebelum persiapan mereka membuka lapaknya
selesai, ia masih menghitung berapa amplop tadi yang ia
kirimkan. Satu surat ke Bondowoso, satu surat ke RRI, satu
surat ke Lasem, satu surat ke Bandung, dan satu surat ke
Surabaya. Ia juga menghitung berapa lembar yang ada di
dalam tiap-tiap surat. Serta, mengingat atas nama siapa saja
152
Antologi Cerpen PEREMPUAN YANG INGIN MEMBELI MASA LALU

