Page 20 - Perempuan Yang Ingin Membeli Masa Lalu
P. 20
―Pernah menelepon?‖ tanyaku.
Seli dan adiknya menggeleng-gelengkan kepala. Aku
tersenyum mengusap-usap kepala mereka,
kemudian beringsut ke pojok ruangan ketika aku mendengar
langkah Ibu dan ketiga kakakku mendekat.
Kulihat perut Ineke bertambah besar, kecantikannya tak
sempurna karena ada bekas lebam di ujung bibir. Tak sedikit
pun rasa benciku luntur terhadap Bahrul, meski suami Ineke
itu terus memapah sang istri.
Tidak ada rasa nyaman malam ini. Semua membisu, kecuali
anak-anak yang saling berebut makanan dan Kak Zati atau
Kak Wibowo yang melerai. Atmosfer ini membuat seluruh
makanan yang telah seharian dimasak menjadi hambar.
Beberapa kali mataku bertemu dengan mata Kak Zati dan Kak
Wibowo. Lalu dengan Ineke yang setelah kutatap agak lama,
matanya sedikit berkaca-kaca.
―Kalian tidur di sini saja. Besok kan libur, anak-anak bisa
tidur di sini juga,‖ ucap Ibu setelah makan malam hampir
selesai.
―Tidak, Bu. Besok saya tidak libur bekerja,‖ dengan cepat
Bahrul menyahut. Kontan semua mata tertuju pada suami
Ineke itu. Bahrul memasang senyum kepada semua orang.
Entah dari mana, aku melontarkan ucapan.
―Ineke bisa tinggal di sini!‖
―Tidak bisa.‖
11
Antologi Cerpen PEREMPUAN YANG INGIN MEMBELI MASA LALU

