Page 206 - Perempuan Yang Ingin Membeli Masa Lalu
P. 206
―Sepertinya belum. Ibu nggak tega mau
membangunkannya. Bapak terus merintih-rintih kesakitan,
Nduk.‖
―Ibu buatkan air hangat saja, nanti dikompreskan di
dahi bapak nggih, Bu. Sudah, ibu jangan khawatir. Bapak
tidak apa-apa kok bu. Ibu sebaiknya menemani bapak di
kamar. Ibu nampaknya juga kelelahan. Ibu istirahat nggih.‖
―Yasuda,h Nduk. Ibu ke kamar dulu. Kamu juga tidur,
sudah malem nggka baik anak perawan begadang.‖
―Nggih, Bu.‖
Tak lama kemudian ibu meninggalkan Karti. Dipandangi
punggung ibunya yang sudah mulai membungkuk. Mata Karti
mulai berkaca-kaca. Air matanya menetes lalu merembes ke
pipinya dan jatuh membasahi kertas lalu melunturkan
tulisannya yang belum ia rampungkan. Tangannya gemetaran
memegangi pensil. Tak kuasa ia melanjutkan untuk menulis.
Pikirannya sudah semrawut tidak karuan. Surat berisi mimpi
itu segera dilipatnya lalu diselipkan ke dalam bukunya. Ia
membungkus malam itu dengan cucuran airmata kepedihan.
Ada perasaan sedih nan gelisah yang berkecamuk.
Karti kemudian beranjak dari meja belajarnya. Ia
segera membaringkan badannya yang ringan di atas tempat
tidur. Karti mencoba untuk terlelap. Ia membiarkan lampu
petromak di kamarnya menyala. Karti lalu tertidur dengan air
mata yang masih merembes di pipinya.
Azan Subuh yang hampir usai membangunkan Karti dari
tidur lelapnya. Kelopak matanya mulai membuka perlahan.
197
Antologi Cerpen PEREMPUAN YANG INGIN MEMBELI MASA LALU

