Page 43 - Perempuan Yang Ingin Membeli Masa Lalu
P. 43
bukan hanya sekedar anak ingusan yang hanya tahu
bermain tanpa memperdulikan sekelilingku. Aku tumbuh
berbeda dari anak-anak seusiaku di saat anak lain sedang
asik bermimpi tentang istana yang indah sedangkan aku,
telah memikul beban berat dipundakku bahkan kurasa
berkali-kali lebih berat daripada satu karung beras yang
biasa di pikul kuli panggul di pasar tradisional tempat
biasa ibuku berbelanja bahan makanan.
Ibu berkali-kali berkata mungkin beratus-ratus
kali, ah mungkin ribuan kali jika aku hitung dengan benar
setiap dia berkata ―Tak apa lah, Nak. Ini sudah nasib
kita sebagai wanita yang derajatnya
lebih rendah
dibandingkan kaum laki-laki.‖
Ibu berulang kali mengatakan hal ini bahkan jika di
filmkan mungkin sudah bisa menjadi seperti film
Indonesia yang episodenya tidak ada habisnya. Tujuh
belas tahun yang lalu -tepatnya tanggal ini- aku ingat
betul hari bersejarah itu, lebih tepatnya aku menyebut
hari itu hari kematian ayahku. Bukan raganya yang mati,
tapi hatinya. Sejak hari itu aku tidak mengenal lagi sosok
laki-laki yang dulu aku anggap sebagai super heroku dalam
satu hari ia menghancurkan segalanya dan berubah
menjadi monster jahat yang berwujud manusia.
Dengan santainya dia mengatakan kepada ibu,
―Aku ingin menikah lagi karena kurasa kau sudah tak
cantik lagi.‖
34
Antologi Cerpen PEREMPUAN YANG INGIN MEMBELI MASA LALU

