Page 51 - Islamic-theology-Ibnul-Jawzi-membongkar-kesesatan-akidah-Tasybih-meluruskan-penyimpangan-dalam-memahami-sifat-sifat-Allah-Nurul-Hikmah-Press-173-Hal
P. 51
Islamic Theology | 43
bukan dalam pengertian bahwa Allah sebagai benda yang memiliki
49
bentuk dan raga .
Berbeda dengan pendapat Abu Ya„la yang mengatakan
bahwa Allah memiliki “nafs” yang ia artikan sebagai tubuh yang
merupakan bagian dari Dzat-Nya. Pendapat seperti ini jelas tidak
.
memiliki landasan kecuali di atas paham tasybîh Dengan ini Abu
Ya„la telah menjadikan Allah sebagai bagian-bagian yang memiliki
susunan-susunan; ia menjadikan Dzat sebagai sesuatu yang lain. Lalu
kata “nafs” ia pahami sebagai sesuatu yang lain pula yang merupakan
bagian dari Dzat-Nya.
Ke Lima:
Firman Allah:
َ
) 44 :يعىكلا( ءي ٌ ش ه ِ ثم ل َ ْ ٦ ـ ْ َ ل ِ َ
Secara literal makna ayat ini ialah: “Tidak ada suatu apapun
yang seperti keserupaan-Nya”. Jadi seakan Allah memiliki keserupaan
(mitsl) [dan mitsl itulah yang tidak memiliki keserupaan]. Padahal
yang dimaksud oleh ayat ini bukan pemahaman rusak semacam itu.
Tetapi makna yang benar, sebagaimana dipahami dan dijelaskan oleh
para ahli bahasa, adalah bahwa kata “لثم” dalam penggunaan
bahasa seperti ini menduduki “sesuatu yang sedang dibicarakan”
[dalam hal ini Allah]. Dalam bahasa Arab bila dikatakan; “ar-Rajul
,
Mitslî Lâ Yukallim Mitslak” “٪لثم مل٩ً لا يلثم لحغلا” ; maka
maknanya “Orang seperti saya tidak akan berbicara dengan orang
sepertimu”; bukan artinya untuk menetapkan bahwa ada orang yang
49 Pengertian “Dzat” pada hak Allah adalah “Hakekat”. Dzat Allah
artinya Hakekat Allah; bukan dalam makna raga atau benda. Adapun
makna “dzat” pada makhluk adalah bermakna “tubuh, benda, atau fisik”,
seperti bila kita katakan “dzat manusia” maka yang dimaksud adalah
tubuhnya, raganya, atau fisiknya. Dengan demikian berbeda makna antara
penyebutan “Dzat Allah” dengan penyebutan “dzat manusia”.