Page 58 - Islamic-theology-Ibnul-Jawzi-membongkar-kesesatan-akidah-Tasybih-meluruskan-penyimpangan-dalam-memahami-sifat-sifat-Allah-Nurul-Hikmah-Press-173-Hal
P. 58

50 | Islamic Theology



                  Kata  Istawâ dapat  pula  bermakna  al-Qashd  Ilâ  asy-Syai„
           “ءى صلا ىلئ ضه٣لا” artinya; bertujuan terhadap sesuatu. Dalam makna
           ini seperti firman Allah:
                                                           َ
                                                      ّ َ
                                       )    44  :ذلهٞ(    م ءا      ؿلا ى   لئ ي    خ   ى    ؾا  ّ ْ َ َ    ز   م    ُ

                 [Yang  dimaksud  Istawâ dalam  ayat  ini  ialah  qashada
                 “ضه٢”,  artinya  bahwa  Allah  berkehendak  untuk
                 menciptakan langit].


                  Kata Istawâ dapat pula dalam makna al-Istîlâ„ ‘Alâ asy-Syai„
           “ءى صلا  ىلٖ  ءلاُدؾالا”  artinya;  menguasai  terhadap  sesuatu.  Dalam
           makna ini sebagaimana perkataan seorang penyair:
                     َ    َ ُ  َ َ ْ ُ  َ  ْ َ          ْ ً َ َ َ ْ ُ ْ  َ َ َ  َ  َ
                           ل   ٩   ى   ه     ٢  ِ ض      م ا   م ىل   ٖ ى   ح   يأ    م    *   و  ِ    حا     خ   غ   ٍ   هم    بأ ا    ى   م    ٢ ا   ؼ   ٚ ا   م ا   طئ
                                            ْ َ َ
                                            خ   ى   ي      ؾا
                 [Maknanya: “Apa bila ia memerangi suatu kaum maka ia
                 membolehkan atas sesuatu yang terlarang dari mereka,
                 dan  jadilah  ia  terhadap  apa  yang  mereka  miliki  telah
                 menguasai”].

                  Isma„il  bin  Abi  Khalid  ath-Tha„i  meriwayatkan  bahwa  Arsy
           adalah  yaqut yang  berwarna  merah.  Para  ulama  Salaf  memahami

           ayat  ini  sebagaimana  datangnya  [dalam  teks-teks  syari„at]  tanpa
           memberlakukan tafsir dan takwil terhadapnya.
                  Sementara  itu  ada  golongan  yang  datang  belakangan  (al-
           Muta„akhirîn)  yang memahami ayat ini dalam makna indrawi [yaitu
           kaum Musyabbihah   ]. Di antara mereka ada yang menambahkan kata
           “Dzat” “ثاط”. Mereka berkata: “Istawâ ‘Alâ Arsyihi Bi Dzâtih”  “ يىخؾا
           هجاظب  هقغٖ  ىلٖ”  [ini  ungkapan  sesat  hendak  mengatakan  bahwa
           Allah dengan Dzat-Nya bertempat di arsy]. Padahal tambahan kata
           tersebut dari mereka sendiri, karena tidak ada riwayat dari siapapun

           yang  menyebutkan  redaksi  demikian.  Tambahan  redaksi Bi Dzâtih
           ini tidak lain hanya datang dari pemahaman indrawi mereka. Dalam
           hal ini mereka berkata: “al-Mustawî ‘Alâ asy-Syai„ Innamâ Yastawî Bi
   53   54   55   56   57   58   59   60   61   62   63