Page 63 - Islamic-theology-Ibnul-Jawzi-membongkar-kesesatan-akidah-Tasybih-meluruskan-penyimpangan-dalam-memahami-sifat-sifat-Allah-Nurul-Hikmah-Press-173-Hal
P. 63

Islamic Theology  | 55

                  Apa  yang  mereka  ungkapkan  ini  adalah  jelas  kebodohan,
           karena  sesungguhnya  dekat  dalam  pengertian  jarak  --dalam
           pemahaman  siapapun--  hanya  berlaku  pada  setiap  benda.  Lalu
           dengan  dasar  apa  orang  bodoh  semacam  ini  mengatakan  bahwa
           keyakinan  sesatnya  itu  sebagai  keyakinan  madzhab  Hanbali?!
           Sungguh kita [Ibnul Jawzi dan para ulama di atas jalan kebenaran
           bermadzhab  Hanbali]  merasa  sangat  dihinakan  karena  keyakinan
           bodoh ini disandarkan kepada madzhab kita.

                  Sebagian mereka; dalam menetapkan keyakinan rusak Allah
           bertempat di arsy mengambil dalil --dengan dasar pemahaman yang
           sesat-- dari firman Allah:
                                                   ّ
                                      ّ ُ َ ْ ُ
                   )    41  :غَاٞ( ه  َ   ِ لا   ر     ً   غ   ٞ   ٗ    هلا    م   ل      ٗلا    ُ   ب     و  ّ ُ َ َ َ ُ    ُلا  ُ  ِ    ٗ   ض     لا   ٩   ل   م      ه   ً ه ْ َ ْ َ ُ ْ َ    لئ   ُ َ
           Juga --dengan pemahaman yang sesat-- dari firman Allah:
                                       )    34  :ماٗوبمأ(  ِ  َ  ِ ِ  َ  ُ ْ    ها   غ     ٞ   ى   ١     ٖ   ب  ِ صا   ه    ِ    ٣لا    و   ه   ى    َ ُ َ َ

           Dari  firman  Allah  QS.  Fathir:  10  dan  QS.  al-An„am:  61  ini  mereka
           menyimpulkan  bahwa  secara  indrawi  Allah  berada  di  arah  atas.
           Mereka  lupa  (tepatnya  mereka  tidak  memiliki  akal  sehat)  bahwa
           pengertian “fawq”, “  ١ىٞ” dalam makna indrawi hanya berlaku bagi
           setiap jawhar
                         dan benda saja. Mereka meninggalkan makna “fawq”
                                                          ّ
           dalam pengertian “Uluww al-Martabah”, “تبجغتهإا ىلٖ”; “derajat yang
           tinggi”. Padahal dalam bahasa Arab biasa dipakai ungkapan: “ نلاٞ
           نلاٞ ١ىٞ”; artinya; “Derajat si fulan (A) lebih tinggi dibanding si fulan
           (B)”. Ungkapan ini bukan bermaksud bahwa si fulan (A) berada di
           atas pundak si fulan (B).

                  Kita katakan pula kepada mereka: “Dalam QS. al-An„am: 62
           Allah berfirman: “هصابٖ ١ىٞ”, kemudian dalam ayat lainnya; QS. al
           Hadid:  4,  Allah  berfirman:  “م٨ٗم ىهو”,  jika  kalian  memahami  ayat
           kedua  ini  dalam  pengertian  bahwa  Allah  maha  mengetahui  setiap
                                                                ّ
           orang dari kita [artinya dipahami dengan takwil “ملٗلا تُٗم”]; maka
           mengapa  kalian  menginkari  musuh-musuh  kalian  (yaitu  kaum
   58   59   60   61   62   63   64   65   66   67   68