Page 59 - Islamic-theology-Ibnul-Jawzi-membongkar-kesesatan-akidah-Tasybih-meluruskan-penyimpangan-dalam-memahami-sifat-sifat-Allah-Nurul-Hikmah-Press-173-Hal
P. 59
Islamic Theology | 51
Dzâtih” “هجاظب يىخؿٌ امهئ ءى صلا ىلٖ يىخؿتهإا”. [Mereka memahami
kata Istawâ hanya dalam makna bertempat dan bersemayam, karena
itu dalam kesimpulan sesat mereka Allah bertempat dengan Dzat-
Nya di atas arsy].
Ibnu Hamid al-Musyabbih berkata: “Pemahaman Istawâ di
sini adalah bahwa Allah menempel (pada arsy). Istawâ ini adalah sifat
Dzat-Nya, dan makna Istawâ di sini adalah duduk”.
Ibnu Hamid juga berkata: “Sebagian golongan dari para
sahabat kami [orang-orang yang mengaku bermadzhab Hanbali]
berpendapat bahwa Allah bertempat di arsy, namun Dia tidak
memenuhi arsy. Dan bahwa Allah mendudukan Nabi Muhammad di
atas arsy bersama-Nya”.
Ibnu Hamid juga berkata: “Pengertian an-Nuzûl [dalam
ّ
hadits “اىبع ٫زجً”] adalah berpindah [dari atas ke bawah]”.
Ini artinya dalam keyakinan sesat Ibnu Hamid bahwa Allah
ketika turun maka Dzat-Nya menjadi jauh lebih kecil dari pada arsy
[karena dalam riwayat sahih disebutkan bahwa besarnya langit
dibanding arsy seperti kerikil dibanding padang yang luas]. Yang
sangat mengherankan dari mereka dengan keyakinan rusak ini
mereka berkata: “Kami bukan kaum Mujassimah (golongan yang
mengatakan Allah sebagai benda)”.
Sementara Ibn az-Zaghuni al-Musyabbih pernah ditanya:
“Apakah ada sifat Allah yang baharu sebelum Dia menciptakan arsy?”
[Artinya; jika dikatakan Allah bertempat di arsy maka berarti sifat
“bertempat” tersebut baharu karena Allah ada sebelum arsy], Ibn az-
Zaghuni menjawab: “Tidak ada sifat Allah yang baharu. Allah
menciptakan alam ini dari arah bawah-Nya, maka alam ini dari-Nya
berada di arah bawah. Dengan demikian, jika telah benar bahwa
“arah bawah” bagi sesuatu selain Allah maka secara otomatis telah
tetap bahwa “arah atas” sebagai arah bagi-Nya”.