Page 133 - Kedua-Orang-Tua-Rasulullah-Penduduk-Surga-Dr.-H.-Kholilurrohman-MA-Nurul-Hikmah-Press-242-Hal-dikompresi-1
P. 133

Membela Kedua Orang Tua Rasulullah  |  131
                    “Kemudian dari pada itu, ada pelajaran penting lainnya yang
            hendak aku katakan bagi setiap orang dari para pengikut madzhab
            agung  yang  empat,  apakah  ia  seorang  bermadzhab  Hanafi,  Maliki,
            Syafi’i, atau Hanbali; bahwa dalam hadits sahih riwayat Muslim dari
            sahabat  Abdullah  ibn  Abbas  bahwa  kata-kata  “talaq  tiga”  dihitung
            talaq  satu  adalah  ajaran  yang  berlaku  di  masa  Rasulullah,  juga  di
            masa Khalifah Abu Bakr, dan paruh pertama dari pemerintahan Umar
            ibn  al-Khathab.  Di sini  aku  katakan  bagi setiap  orang  pencari  ilmu:
            “Dengan  tuntutan  hukum  yang  terkandung  dalam  hadits  ini
            bagaimanakah engkau akan menghukumi orang yang berkata kepada
            isterinya: “Kamu saya talaq tiga”, apakah engkau akan menghukumi
            jatuhnya  talaq  tiga  atau  hanya  jatuh  talaq  satu  saja?  Jika  ia
            menjawab:  “Itu  dihukumi  dengan  talaq  satu”,  maka  engkau  harus
            berpaling  darinya,  [karena  berarti  ia  sedikitpun  tidak  memahami
            fiqh].  Dan  bila  ia  menjawab:  “Itu  dihukumi  talaq  tiga”,  maka  anda
            katakan  kepadanya:  “Lantas  mengapa  engkau  tidak  mengamalkan
            hadits  sahih  riwayat  Muslim  di  atas?”.  Jika  ia  menjawab:  “Ada
            beberapa dalil lain yang berbeda dengan hadits tersebut”, maka dari
            sini kita katakan kepadanya: “Demikian pula dengan hadits tentang
            kedua orang tua Rasulullah, ada dalil-dalil lain yang berbeda dengan
                           208
            hadits tersebut” .
                    Kesimpulan penjelasan ini semua adalah; bahwa tidak setiap
            hadits yang ada dalam sahih Muslim harus “ngotot” kita berlakukan
            segala  tuntutan  makna  harfiahnya,  oleh  karena  bisa  saja  ada  teks-
            teks  lain  yang  secara  zahir  berseberangan  dengannya,  bahkan  bisa
            jadi  yang  menyalahinya  itu  berasal  dari  ayat-ayat  al-Qur’an  seperti
            ayat-ayat yang kita kutip di atas.








                  208  Ibid, 2/229
   128   129   130   131   132   133   134   135   136   137   138