Page 136 - Kedua-Orang-Tua-Rasulullah-Penduduk-Surga-Dr.-H.-Kholilurrohman-MA-Nurul-Hikmah-Press-242-Hal-dikompresi-1
P. 136
134 | Membela Kedua Orang Tua Rasulullah
Al-‘Allamah Nashiruddin Ibn al-Munayyir al-Maliki dalam
kitab al-Muqtafa Fi Syaraf al-Musthafa berkata: “Telah terjadi pada
nabi kita beberapa peristiwa di mana beliau menghidupkan orang-
orang yang sudah meninggal; sama seperti yang terjadi pada nabi Isa
ibn Maryam”. Lalu Ibn al-Munayyir menuliskan bahwa ada hadits
yang menyebutkan bahwa Rasulullah dilarang untuk meminta
ampunan (istighfar) bagi orang-orang kafir, maka Rasulullah berdoa
meminta kepada Allah agar kedua orang tuanya dihidupkan kembali,
maka Allah kembali menghidupkan keduanya, lalu keduanya
beriman; bersaksi dan mengakui Rasulullah sebagai utusan Allah,
213
kemudian keduanya meninggal kembali dalam keadaan beriman” .
Al-Qurthubi dalam kitab at-Tadzkirah, --setelah mengutip
hadits tentang dihidupkannya kembali kedua orang tua Rasulullah
yang diriwayat oleh al-Khathib al-Baghdadi dan Ibnu Syahin--
berkata: “Tidak bertentangan antara hadits tentang dihidupkannya
kembali kedua orang tua Rasulullah (hadits al-ihya’) dengan hadits
larangan istighfar bagi keduanya. Karena peristiwa dihidupkannya
kembali kedua orang tua Rasulullah adalah belakangan; yaitu setelah
larangan istighfar. Ini dengan dalil hadits Aisyah yang menyebutkan
bahwa peristiwa itu dalam haji wada’. Karena itu Ibn Syahin
menjadikan riwayat Aisyah ini sebagai penghapus (nasikh) bagi
214
beberapa riwayat sebelumnya” .
Kemudian al-Qurthubi mengkritik pendapat Abul Khatthab
Ibnu Dihyah yang mengatakan bahwa hadits tentang dihidupkannya
kembali kedua orang tua Rasulullah adalah hadits maudlu’ (palsu).
Ibnu Dihyah dalam hal ini berdalil dengan firman Allah QS. An-Nisa:
18, dan QS. Al-Baqarah: 217, bahwa orang kafir bila dihidupkan
kembali dari kematiannya dan lalu beriman maka imannya tidak akan
memberikan manfaat baginya. Menurutnya; Bagaimana dapat
memberikan manfaat, sementara orang yang masih hidup dan ruh-
nya telah mencapai kerongkongannya ketika menghadapi kematian
(Ghargharah) bila bertaubat maka taubatnya tidak diterima, terlebih
213 Ibid.
214 Lihat al-Qurthubi, at-Tadzkirah Fi Ahwal al-Mawta Wa Umur al-Akhirah,
h. 16