Page 195 - Kedua-Orang-Tua-Rasulullah-Penduduk-Surga-Dr.-H.-Kholilurrohman-MA-Nurul-Hikmah-Press-242-Hal-dikompresi-1
P. 195
Membela Kedua Orang Tua Rasulullah | 193
tersebut pasti maudlu’ (palsu), tetapi kadang hanya berimplikasi
dla’if saja. Dan sangat jauh berbeda antara sebuah hadits yang dinilai
maudlu’ dengan hadits yang hanya dinilai dla’if saja. Di atas kita telah
jelaskan bahwa hadits dla’if dapat diamalkan dalam fada-il al-a’mal
dan dalam manaqib, adapun hadits maudlu’ sama sekali tidak boleh
diamalkan, dan bahkan tidak boleh pula diriwayatkan kecuali untuk
315
menjelaskan bahwa hadits tersebut sebagai hadits maudlu’ .
Imam al-Bukhari dalam kitab al-Adab al-Mufrad, --kitab
hadits terbaik karya beliau setelah kitab al-Jami’ ash-Shahih--,
meriwayatkan hadits yang di dalam sanad-nya ada perawi yang
majhul, yaitu dengan sanad: “… dari Muhammad ibn Malik ibn al-
Muntashir, telah meriwayatkan darinya; Abu Bakr ats-Tsaqafi”.
Padahal Abu Bakr ats-Tsaqafi adalah seorang yang majhul
316
sebagaimana disebutkan demikian dalam kitab al-Khulashah .
Demikian pula seorang perawi yang dinilai oleh para ulama
kritikus hadits sebagai “munkar al-Hadits” (Perawi yang
meriwayatkan hadits munkar) tidak berimplikasi kepada maudlu’
pada hadits yang diriwayatkannya. Dalam kitab Sunan yang empat;
Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa-i dan Sunan Ibni
Majah, ada beberapa orang perawi yang dinilai sebagai orang yang
munkar al-Hadits, di antaranya; al-Khalil ibn Murrah adl-Dlab-i yang
haditsnya diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, dia (al-Khalil ibn Murrah)
dinilai oleh al-Bukhari sebagai orang yang munkar al-Hadits. Dan
317
bahkan Ahmad ibn Hanbal telah mengambil riwayat darinya .
Lainnya; Humaid ibn Wahb al-Qurasyi, haditsnya
diriwayatkan oleh imam Abu Dawud dan imam Ibnu Majah dalam
315 Hadits maudlu’ bukan berasal dari Rasulullah. Definisi hadits adalah
sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah dari perkataan, perbuatan, ketetapan,
atau sifat-sifatnya; baik akhlaknya atau sifat-sifat fisiknya. Dengan demikian hadits
maudlu’ sebenarnya bukan hadits nabi. Adapun bahwa ia disebut “hadits” adalah
menurut orang yang memalsukannya (‘ala za’mi man wadla’ahu). Lihat Syarh al-
Baiquniyyah, az-Zurqani, h. 122
316 Al-Khulashah Fi Tahdzib al-Kamal, al-Khazraji, h. 357
317 Tahdzib at-Tahdzib, Ibnu Hajar al-‘Asqalani, 3/146

