Page 200 - Kedua-Orang-Tua-Rasulullah-Penduduk-Surga-Dr.-H.-Kholilurrohman-MA-Nurul-Hikmah-Press-242-Hal-dikompresi-1
P. 200

198  |  Membela Kedua Orang Tua Rasulullah

            dikomparasikan  dengan  manuskrip-manuskrip  yang  ada  di  Dar  al-
                                      332
            Kutub al-Mishriyyah (Mesir)” .
                    Lalu  Imam  al-Kawtsari  mengupas  tentang  adanya
            penyimpangan al-Fiqh al-Akbar dalam terbitan-terbitan yang beredar
            di  pasaran.  Beliau  menegaskan  bahwa  imam  Abu  Hanifah  tidak
            pernah  berkeyakinan  bahwa  kedua  orang  tua  Rasulullah  termasuk
            orang-orang kafir. Redaksi asli dalam al-Fiqh al-Akbar dari Imam Abu
            Hanifah, --seperti yang tertulis dalam manuskrip asli di perpustakaan
            Arif Hikmat di atas--, adalah: “Maa maataa ‘ala al-kufr” ( ىلع اتام ام
            رفكلا), namun redaksi asli ini berubah fatal menjadi “Maataa ‘ala al-
            kufr” (رفكلا  ىلع اتام). Berikut ini adalah penjelasan Imam al-Kawtsari:

                    “Di  dalam  sebagian  manuskrip  tersebut  (yang  terdapat  di
            perpustakaan Arif Hikmat) tertulis “ ىلع اتام ملسو هيلع الله ىلص يبنلا اوبأو
            ةرطفلا” (Dan kedua orang tua Rasulullah wafat di atas fitrah, artinya
            tidak  dalam  keadaan  kafir),  kata  “ ةرطفلا”  dalam  khat  Kufi  (kaligrafi
            Arab  model  Kufi)  sangat  mudah  diselewengkan  menjadi  “رفكلا”.
            Sementara dalam kebanyakan manuskrip adalah dengan redaksi “ ام
            رفكلا  ىلع  اتام”;  dengan  redaksi  ini  seakan  Abu  Hanifah  hendak
            membantah pendapat orang yang meriwayatkan hadits “Inna Abi Wa
            Abaka  Fi  an-Nar”  dan  orang  yang  mengatakan  kedua  orang  tua
            Rasulullah  bertempat  di  neraka.  Karena  sesungguhnya  tidak  boleh
            memastikan seseorang bertempat di neraka kecuali dengan adanya
            dalil yang pasti. Dan masalah keadaan kedua orang tua Rasulullah ini
            tidak cukup hanya dengan dalil yang bersifat prasangka (dalil zhanni),
            berbeda  dengan  masalah  amalan  (perbuatan)  yang  boleh  dengan
            hanya dalil zhanni.

                    Selain itu, al-Hafizh Muhammad Murtadla az-Zabidi; penulis
            Syarh  Ihya  ‘Ulumiddin  dan  al-Qamus  (Tajul  ‘Arus)  dalam  risalah
            karyanya berjudul al-Intishar Li Walidayin-Nabiyy al-Mukhtar, --dan
            aku sendiri (al-Kawtsari) telah melihat risalah ini dengan tulisan az-
            Zabidi  langsung  di  Syekh  Ahmad  ibn  Musthafa  al-Umari  al-Halabi


                  332  Muqaddimat al-Imam al-Kawtsari, h. 169
   195   196   197   198   199   200   201   202   203   204   205