Page 203 - Kedua-Orang-Tua-Rasulullah-Penduduk-Surga-Dr.-H.-Kholilurrohman-MA-Nurul-Hikmah-Press-242-Hal-dikompresi-1
P. 203

Membela Kedua Orang Tua Rasulullah  |  201
            ketika  menyalin  tulisan  ia  melihat  ada  sebuah  kalimat  tertulis
            berulang,  lalu  tanpa  meneliti  sungguh-sungguh  ia  berkesimpulan
            bahwa  kalimat  tersebut  hanya  sebagai  tambahan,  dan  lalu  ia
            meninggalkan kalimat tersebut tidak menuliskannya, kemudian hasil
            [celakanya]  tulisannya  ini  [diperbanyak  dan]  disebar.  Mengatakan
            kedua orang tua Rasulullah selamat [masuk surga] adalah bagian dari
            pengagungan  terhadap  Rasulullah;  walaupun  itu  bukan  bagian  dari
            perkara  [pokok]  yang  wajib  diyakini,  namun  sebenarnya  itu  adalah
            perkara yang wajib diyakini [jangan sampai keliru] bagi seorang yang
            telah baligh.


                    Atau  dapat  pula  yang  dimaksud  dalam  al-Fiqh  al-Akbar
            tersebut  adalah  bahwa  kedua  orang  tua  Rasulullah  meninggal  di
            masa  kufur  [artinya  bukan  keduanya  kafir],  sebagaimana  pendapat
            ini  dinyatakan  oleh  Ibnul  Kamal.  Atau  dapat  pula  yang  dimaksud
            adalah  al-kufr  al-majazi;  kufur  yang  tidak  mengharuskan  adanya
            siksaan, yaitu semacam kebodohan terhadap hukum-hukum syari’at
            [seperti  karena  jauh  dari  para  ulama],  karena  yang  demikian  itu
            dimaafkan. Jadi, bukan dalam makna al-kufr asy-syar’i [non mukmin];
            oleh karena tidak dapat diterima keadaan al-kufr asy-syar’i sebelum
            datangnya syari’at itu sendiri, sebagaimana pendapat ini dinyatakan
            oleh sebagian ulama di masa sekarang ini. Pendapat sebagian ulama
            ini dikuatkan dengan kemungkinan adanya perubahan redaksi, oleh
            karena  bila  hendak  diungkapkan demikian maka  redaksi yang lebih
            benar  dan  lebih  diterima  secara  bahasa;  seharusnya:  “Wa  walida
            Rasulillah (shallallahu alaihi wa sallam) wa ‘ammhu Abu Thalib matu
            kafirin”  [artinya; bila  benar  kufur maka  seharusnya penyebutannya
            cukup dalam satu redaksi, tidak dipisah antara penyebutan keadaan
            kedua orang tua Rasulullah dan penyebutan keadaan Abu Thalib].

                    Beberapa  takwil  di  atas,  --walaupun  seakan  terasa  “jauh”--
            namun  memahami  masalah  ini  dengan  takwil-takwil  semacam  itu
            jauh  lebih “ringan”  [dan  lebih  sejuk  di  hati]  dari  pada  mengatakan
            kafir terhadap kedua orang tua sebaik-baik makhluk Allah (khair al-
   198   199   200   201   202   203   204   205   206   207   208