Page 24 - Hukum Pidana Khusus dalam KUHP Nasional
P. 24
lebih kompleks karena tingginya tingkat korupsi, lemahnya kapasitas
institusi, dan tumpang tindihnya peraturan yang sering menyebabkan
kebingungan dalam penerapannya. Di sinilah urgensi harmonisasi
antara KUHP Nasional dan hukum pidana khusus men jadi penting
untuk dibahas.
Pengesahan KUHP Nasional menandai semangat untuk menya-
tu kan berbagai norma pidana dalam satu kitab undang-undang.
Namun, pendekatan kodifikasi ini tidak serta-merta menyelesaikan
persoalan dualisme antara hukum pidana umum dan hukum pidana
khusus. Dalam banyak hal, KUHP Nasional justru memperlihatkan
kontradiksi substansial. Salah satu contohnya adalah pengaturan
tentang kedaluwarsa yang termuat dalam Pasal 136 KUHP Nasional
yang menetapkan batas waktu penuntutan terhadap semua tindak
pidana tanpa memberikan pengecualian eksplisit terhadap pelanggaran
HAM berat yang dianggap tidak dapat kedaluwarsa oleh hukum
internasional. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa prinsip non-
retroactivity dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
(UU Pengadilan HAM) akan tergeser oleh pendekatan hukum umum
KUHP.
Hal serupa terjadi dalam pengaturan tindak pidana korupsi dan
pencucian uang ketika KUHP Nasional mengadopsi sebagian pasal
dari UU Tipikor dan UU TPPU, tetapi dengan ancaman pidana yang
lebih ringan dan tanpa mencabut ketentuan pidana tambahan atau
pemberatan pidana yang selama ini menjadi ciri khas dari pendekatan
hukum pidana khusus. Dengan demikian, pendekatan kodifikasi yang
dilakukan bersifat parsial dan tidak menjawab persoalan substantif
mengenai karakteristik maupun perlakuan hukum terhadap kejahatan
luar biasa.
Secara normatif, KUHP Nasional memang memuat ketentuan
Pasal 187 dan Pasal 620 yang menyatakan bahwa ketentuan dalam
undang-undang sektoral tetap berlaku jika mengatur secara berbeda.
Akan tetapi, norma ini bersifat generik dan membuka ruang interpretasi
6 Hukum Pidana Khusus dalam KUHP Nasional

