Page 18 - ARCHIPELAGOS 3
P. 18

Perempuan itu berjalan sendirian melewati pusat kerajaan.
          Bertanya pada orang-orang yang berlalu–lalang. Seorang bapak-
          bapak yang membawa ayam sabungnya tak menggubris. Ia
          nampak buru-buru.

            “Tanyalah pada—ah, itu sana. Aku sedang buru–buru,” kata pria
          itu, menunjuk ke arah perempuan di bawah pohon.

            Bapak  tersebut  pergi,  Nala  langsung  mendekati  orang  yang
          dimaksud. Rupanya adalah seorang perempuan tua yang menjual
          jamu dengan menggendong bakul besar.

            “Boleh aku bertanya?”

            “Tentu saja, Nak,” kata perempuan tua itu dengan ramah. Ia
          baru saja melayani seorang pelanggan dan baru hendak beranjak
          ke tempat lain.
            “Apakah di sini ada tempat untuk latihan para pendekar?”

            Nenek tersebut mengernyit. “Pendekar? Kau penyihir senjata?”

            “Tidak, aku hanya sedang mencari seseorang.”

            “Ah, kalau itu—aku tak tahu pasti. Tak ada latihan khusus untuk
          para pendekar, Nak. Setahuku. Tetapi adanya sanggar pencak silat,
          dan banyak pendekar di sana. Beberapa juga penyihir tanah.”

            “Di mana?”

            “Yang mana dulu?”

            Nala memijat pelipis, ia berpikir keras. “Pendekar—maksudku
          sanggar pencak silat dengan anggota terbanyak.”
            “Ada dua. Aku tak tahu mana yang lebih banyak, tetapi setahuku
          keduanya sering berseteru. Tengah malam buta, bikin bising saja.
          Cuma itu dulu. Sekarang semenjak kaburnya tujuh buronan yang



          12
   13   14   15   16   17   18   19   20   21   22   23